Oleh: Habibur Rahman (Mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi)
Al-‘Alim Al-Allamah Al-Mutafannin Al-Shufi Syekh Mukhtar Angku Lakuang Koto Panjang Lampasi, lahir pada 18 Oktober 1913, dan wafat pada 19 Juni 1978. Merupakan pendiri MTI Koto Panjang dan tercatat pernah menjadi dosen Fakultas Adab di Payakumbuh hingga menjadi sebagai Ketua Mahkamah Syar’iyah Kota Payakumbuh tahun 1959.
Banyak sudah beliau mencetak tokoh cendekiawan muslim yang berpengaruh, dan dirinya juga dikenal sebagai sosok ulama yang istiqamah, terutama dalam fikih syafi’iyyah, tidak akan mau talfiq dalam masalah furu’iyah, begitu beliau menjaga adab dan amal. Bahkan ada salah satu ungkapan yang diperdengarkan kepada kita dari salah seorang orang tua yang berujar bahwa “murid-murid Angku Lakuang, hampir semuanya menjadi ulama besar”.
Syekh Mukhtar Angku Lakuang merupakan murid dari Syekh Haji Thalud Batu Payuang yang terbilang ahli hadist pada masa itu. Kemudian tak hanya sampai disitu, Syekh Mukhtar Angku Lakuang juga berguru pada Syekh Rusli Abdul Wahid (Menteri Negara Urusan Irian Barat Pada Masa Kabinet Ali Sastroamidjojo 1956-1957) dan juga belajar kepada Syekh Abdul Wahid Ash-Shalihi Tobek Godang (Tokoh Besar PERTI). Untuk hal tarekat beliau berguru kepada Syekh Abdul Wahid Asy-Syadzily An-Naqsyabandi (Baliau Tobek Panjang). Kabarnya, setelah memperoleh ijazah dari Tobek Godang, tempat ia menimba ilmu, pada hari melewakan ijazah itu, guru beliau mengantar Syekh Mukhtar Angku Lakuang muda dengan iring-iringan bendi dari Tobek Godang ke Koto Panjang, Payakumbuh. Begitu perlakuan gurunya kala itu padanya, hingga hari ini cerita itu terbilang masyhur di kalangan anak siak.
Di samping itu, Syekh Mukhtar Angku Lakuang juga dikenal dengan kedalaman ilmunya. Oleh karenanya beliau terkenal sebagai salah satu pionir Kaum Tua yang gagah dalam mempertahankan amalan Tarekat Naqsyabandiyah sewaktu pergejolakan terjadi antara Kaum Tua – Kaum Muda masa itu dan telah menjadi buah biir bagi masyarakat bahwa kala itu ia juga pernah berdebat salah seorang ulama yang lokasinya gtak jauh di Koto Panjang tempat ia bermukim dan ia berhasil menaklukan dengan kelembutan setelah beberapa jam perdebatan yang ketat dan konon kabarnya juga di amankan oleh dubalang dari kedua belah pihak. Namun yang menarik, hubungan antara beliau dengan sang guru yakni Syekh Rusli Abdul Wahid, meskipun Syekh Mukhtar Angku Lakuang dikenal dengan muru’ah kealiman yang luar biasa, namun juga tak terbantahkan bahwa beliau adalah murid yang sangat cinta dan beradab kepada gurunya. Cerita ini diperoleh dan diperoleh dari beberapa ulama-ulama tua yang dulu merupakan murid beliau, sebut saja Buya Syamsu Anwar Mangkuto Malin Mursyid Tarekat Naqsyabandiah wa Sammaniyah (Surau Putiah, Taeh Baruah) dan Abuya Imam Ranjani (Guru Tuo MTI Koto Panjang sekaligus Pembina Yayasan).
“Kalau saja kaki Syekh Rusli Abdul Wahid telah berada di halaman MTI Koto Panjang, pasti Syekh Angku Lakuang akan bergegas sesegera mungkin menyambut gurunya itu membawa segala barang perlengkapan gurunya seperti tas dan koper dan lain-lain. Bahkan ketika bersama gurunya, beliau tidak lagi terlihat seperti Syekh Mukhtar Angku Lakuang, namun beliau terlihat seperti murid yang siap sedia membantu gurunya. Apabila Syekh Rusli datang berkunjung ke MTI Koto Panjang, beliau akan super-super sibuk. Sangkin sibuknya, beliau terkesima memerhatikan gurunya Syekh Rusli”.
“Bahkan, tak jarang apabila Syekh Rusli telah meninggalkan MTI Koto Panjang, Syekh Mukhtar Angku Lakuang akan bertanya kepada murid-murid nya sendiri dengan narasi “Apo Nan Disampaikan Buya Tadi (apa yang disampaikan Buya tadi)“.
Apria Putra pada tulisannya yang berjudul “Buya Datuak Sati dan Syekh Mukhtar Engku Lakuang” memberikan narasi, bahwa pada waktu Syekh Mukhtar Angku Lakuang hidup ada seorang ulama yang dikenal dengan nama Buya Datuak Sati, yang masyhur terbilang di Lima Puluh Kota, alim dalam berbagai vak keilmuan, seperti fikih, tauhid, mantiq, ushul, dan sebagainya, ditambah sangat juga mahir membaca kitab kuning. Dan Buya Datuak Sati juga merupakan lulusan dari MTI Jaho (Madrasah Tarbiyah Islamiyah Jaho). Dulu, lulusan Jaho “ditakuti”, karena sudah dipastikan “alim” dan hebat bermudzakarah. Lebih dari itu Buya Datuak Sati juga orator ternama. Ke mana beliau berceramah, jamaah tentu terkagum dengan penjelasan yang runtun, jelas, serta diperkokoh oleh dalil-dalil. Kompletnya, Buya Datuak Sati ialah pengarang ulung. Sudah beberapa judul buku beliau tulis. Buku-buku itu pun sudah diterbitkan dan beredar. Salah satu karangannya yang populer yaitu Dialektika Ilmu Tauhid. Konon, Presiden RI pernah mengutip buku beliau ini ketika menyampaikan pidato di salah satu daerah di Sumatra.
Namun pada suatu ketika Allah mempertemukan antara Buya Datuak Sati dengan Syekh Mukhtar Angku Lauang. Singkat cerita kala itu Buya Datuak Sati berangkat ke Pasar Payakumbuh, naik bendi dari Koto Nan Ampek. Tidak disangka di bendi yang sama, naik Syekh Mukhtar Angku Lakuang.
Sebagai yang lebih sepuh, Syekh Mukhtar Anghku Lakuang mempunyai pandangan sendiri terhadap Buya Datuak Sati. Siapa yang tidak tahu bahwa Syekh Mukhtar Engku Lakuang sebagai ulama Kaum Tua yang pandangan “mata”nya hampir sama dengan gurunya Maulana Syekh Abdul Wahid Asshalihi Tobek Godang (w. 1950) . Syekh Mukhtar berbicara kepada Buya Datuak Sati: “Kok mangaji yo indak ado nan sa sontiang Datuak Sati, yo bona malin. Sayangnyo ciek, nan kaji indak tapakai dek Datuak Sati!” (kalau mengaji, tidak ada yang sehebat Datuak Sati. Benar-benar ‘alim. Sayang, ilmu itu tidak teramalkan oleh Datuak Sati!). Ungkapan Syekh Mukhtar sangat menohok, dan berbekas dalam di lubuk hati Buya Datuak Sati. Tersirap darahnya. Bergegas beliau, setelah menyelesaikan keperluan di Payakumbuh, langsung menemui Syekh Muhammad Kanis Tuanku Tuah di Batu Tanyuah (wafat 1989). Beliau meminta Syekh Kanis mentalqinkannya zikir, dan bersedia membimbingnya dalam suluk menurut garisan Naqsyabandiyah. Sampai akhirnya Buya Datuak S ati menyelesaikan tarbiyah rohaninya, dan memperoleh ijazah dari Syekh Kanis.
Kenapa talqin zikir dan suluk? Karena Buya Datuak Sati sudah paham apa yang dimaksud oleh Syekh Mukhtar Engku Lakuang. Ucapan Syekh Mukhtar adalah berupa sindiran, sekaligus suruhan. Mereka berdua ialah ulama, ungkapan di antara mereka pun hanya berupa kata-kata kiasan; “lun takilek lah takalam”, begitu cara mereka membaca satu sama lain.
Kenapa Naqsyabandiyah? Karena Naqsyabandiyah adalah pakaian besar ulama-ulama di pedalaman Minangkabau; pusaka yang diwariskan. Sebut saja ulama-ulama kenamaan di Darek, Syekh Isma’il al-Khalidi Simabur, Syekh Abdul Halim Labuh, Syekh Faqih Shaghir Tuangku Samiak, Syekh Abdurrahman Batuhampar, Syekh Mustafa al-Khalidi, Syekh Muhammad Saleh Silungkang, Syekh Thahir Barulak, Syekh Jamil Tungkar, Syekh Thaha Limbukan, dan lain-lain. Hingga generasi terakhir, Syekh Sulaiman Arrasuli, Syekh Jamil Jaho, Syekh Abbas Qadhi, Syekh Abdul Wahid Asshalihi, Syekh Abdul Majid Koto nan Gadang, dan banyak lainnya, mereka semua adalah “al-Khalidi”, yaitu Naqsyabandiyah Khalidiyah.
Buya Datuak Sati telah menemukan apa yang dicari; dahaga sudah dipenuhi, tinggallah beliau menumpahkan ilmunya di sebuah surau di Piladang. Surau itu ramai dikunjungi orang; ada yang menuntut ilmu agama, membaca kitab kuning, bertanya ini itu, ada pula yang hanya melihat-lihat dan ikut pula “melonjak-lonjak” ketika tahlil diperdengarkan.
Apria Putra, menambahkan pada akhir tulisannya adapun tali halus yang diambil dari kisah ini. Menurutnya, Ilmu itu akan tetap ia dalam kitab, bila tidak diamalkan. Amal itu takkan lengket dan bersenyawa, tanpa bimbingan dan tarbiyah ruhani dari seorang guru yang mumpuni, guru yang mu’an’anah.