Penulis : Siti Nurlaila Lubis
Hari Raya Idulfitri 1442 H sudah terlewati, mulai dari menikmati suasana silaturahmi bersama keluarga dan teman-teman, meski masih menerapkan protokol kesehatan karena bumi masih hidup berdampingan dengan COVID-19, bumi belum bisa sepenuhnya kembali ke kehidupan normal seperti tahun-tahun sebelumnya. Kemudian bagi-bagi Tunjangan Hari Raya (THR) yang dominan lebih banyak didapatkan oleh anak-anak kecil karena biasanya kalau sudah berusia 20 tahun ke atas jatah THR sudah berkurang didapatkan. Terakhir adalah mencicipi serba-serbi makanan spesial lebaran seperti opor ayam, lontong gulai, ketupat sayur, rendang dan kue-kue kering edisi lebaran yang selalu ditemui tiap tahunnya.
Lalu apa yang membuat tiap lebaran yang identik dengan kumpul-kumpul itu menjadi hal yang menyebalkan? Adanya orang-orang yang memunculkan pertanyaan yang diawali dengan kata “kapan”, dan itu agak membuat tidak nyamannya orang yang ditanyai untuk menjawabnya. Hal semacam ini tidak hanya terjadi ketika berkumpul saat lebaran saja, menghadiri reuni-reuni bersama teman lama atau sekadar duduk nongkrong bersama teman baru juga sering timbul pembahasan yang mengarah ke situ. Suasana obrolannya dibuka dengan basa-basi yang sebenarnya tidak perlu untuk dibahas sampai menjadi top point dalam sebuah pembicaraan.
Misalnya, kapan menikah? Usianya kan sudah matang untuk membangun rumah tangga. Kapan punya anak? Biar ada cucu orangtuanya. Kapan lulus kuliahnya? Lihat tuh teman yang lain sudah lulus duluan. Kapan nyari kerja? Jangan nganggur lama-lama. Kapan kurusnya? Biar banyak yang suka. Kapan gemuknya? Kurus banget soalnya. Kapan punya anak kedua biar kakaknya ada teman main di rumah?. Dan kapan-kapan lainnya yang sebenarnya tidak penting untuk dibicarakan di depan publik meski itu datangnya dari orang-orang terdekat yang kita kenal.
Hidup yang dimiliki oleh seseorang tidak bisa dipukul rata hanya karena ingin menyamakan standar kapannya orang lain. Perjalanannya untuk menuju pertanyaan kapan itu tidak ada yang benar-benar bersamaan, langkah antara satu orang dengan yang lainnya tidaklah sama dan untuk mencapai garis finish pun jarang yang sampai serentak, tentu akan ada yang lebih dahulu melewati garis tersebut.
Kehidupan bukan ajang untuk lomba-lomba siapa yang dulu menyelesaikan visi dan misi hidupnya di dunia. Kim Seokjin salah satu member dari Bangtan Sonyeondan atau BTS pernah berkata dalam salah satu wawancara yang terjemahannya seperti ini “Terkadang aku merasa gelisah melihat teman-temanku yang lebih maju dariku, dan berusaha mengikuti kecepatan mereka hanya akan membuatku kehabisan napas. Aku segera menyadarinya bahwa jalan mereka bukanlah jalanku, apa yang membuatku bertahan pada saat itu adalah sebuah janji yang kubuat dengan diriku sendiri: pelan-pelan saja. Aku akhirnya berada di jalanku sendiri dengan stabil. Sejak saat itu, sudah menjadi kebiasaanku untuk butuh waktu tambahan untuk diriku sendiri.”
Mendengarkan apa yang dikatakan Kim Seokjin pada saat itu, kita menyadari kalau manusia itu mempunyai timing-nya masing-masing. Memberikan waktu tambahan kepada diri sendiri itu bukan berarti membuat apa yang sedang kita kerjakan gagal. Meski begitu banyak hal yang ingin dikerjakan, jangan sampai membuat diri kita berhenti, terus bergerak dan lakukanlah semampunya.
Perasaan seseorang yang ditanyai terus-terusan dengan pertanyaan kapan tersebut tentu tidak selalu baik. Bisa jadi bertemu dengan orang yang cuek dan tidak terlalu menanggapinya, apapun yang ditanyai orang-orang kepadanya hanya angin lalu saja. Namun ada juga manusia yang malah kelihatan risih atas pertanyaan tersebut sehingga menjadikannya bahan pikiran apalagi yang bertanya itu tak sendirian, akan ada orang-orang yang saling bersahutan untuk mengompori.
Sejatinya orang yang bertanya pun pasti hati kecilnya resah juga untuk menjawabnya, apalagi orang yang ditanyai yang kita tidak tahu seperti apa bentuk perjuangannya untuk bisa memenuhi pertanyaan-pertanyaan tersebut. Apa saja rintangan dan berapa banyak masalah yang dihadapinya untuk bisa sampai. Semua pertanyaan yang berdasarkan kata kapan tersebut adalah impian semua manusia, mimpi yang diidamkan oleh banyak orang. Tapi berhentilah untuk mempertanyakannya atas dasar kepo, hanya sekadar ingin tahu apa yang sudah dilalui dalam hidupnya.
Daripada selalu bertanya lebih baik berikan dukungan yang membuatnya tidak menyerah jika sewaktu-waktu mengalami putus asa, lebih baik meyakinkannya bisa mencapai apa yang sedang diperjuangkannya, dan lebih baik mendamaikan perasaannya jika gagal sekali bukanlah akhir dari segalanya, gagal tidak apa-apa dan menang pun juga tidak apa-apa.