Dua hari sebelum akhir pekan, pukul setengah dua siang, Kamis 9 Februari 2023, sinar matahari yang sedang terik-teriknya itu mulai menusuk kulit, saya bersama Rella Elci Mardiah seorang Pegiat Budaya Kota City Of Randang yang sedang mengejar deadline tugas kantornya ikut mendampingi saya di lapangan.
Kami memilih berteduh di bawah atap warung penjual paket internet dipersimpangan jalan Kelurahan Padang Karambia, Nagari Limbukan, Payakumbuh Selatan. Nampak suasana siang itu tidak ada hiruk pikuk suara masyarakat, kendaraan pun tak begitu ramai berlalu-lalang, Dari seberang jalan raya berjalan seorang laki-laki paruh baya dengan berpakaian santai menghampiri kami.
“Ini Adek-adek yang mau cari tahu soal bukit yang ada di belakang ya? Kita temui ibuk yang ada di rumah sana ya,” katanya
Ialah Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Padang Karambia, Joni Wifra yang merupakan orang yang cukup penting keberadaannya di Kelurahan Padang Karambia. Sebagai Ketua LPM yang kami dapati nomor kontaknya dari penjaga warung makanan sekitaran daerah itu telah menyarankan kami untuk bertemu dengannya, menjelang hari pertemuan lewat pesan teks di gawai kami berkomunikasi untuk membuat janji temu.
Joni membawa kami ke sebuah rumah di seberang jalan yang tidak jauh dari simpang kami berdiri, menurutnya seseorang yang akan ia pertemukan dengan kami merupakan pakar sejarahnya wilayah Padang Karambia yang mengetahui seluk beluk wilayah Padang Karambia dan Aur Kuning zaman dahulu.
Namanya Lidayati, Bundo Kanduang Padang Karambia. Dari depan pintu rumahnya ia menyuruh kami untuk masuk, di ruang tamulah kami berbincang selama hampir satu jam untuk mendengarkan banyak cerita tentang beberapa kebudayaan etnis Tionghoa di Kota Payakumbuh.
Raut wajah yang cukup serius dengan memakai kerudung merah, hoodie berwarna putih dan rok bermotif batik yang terlihat nyaman itu, Bundo pelan-pelan memulai ceritanya di hadapan kami.
“Bukit Cino itu namanya Bukit Panjomuran, di sanalah terbaring makam-makam etnis orang Tionghoa yang ada di Payakumbuh,” ujarnya membuka obrolan.
Bundo Lidayati mengatakan awal mulanya bukit itu dijadikan sebagai pemukiman warga, namun lambat laun semuanya berganti karena didasari oleh hubungan baik antara orang minang di Payakumbuh dengan masyarakat keturunan Tionghoa yang menetap di Payakumbuh.
Menurutnya hubungan baik itu tercipta lebih dari 100 tahun silam. Ketika 1959 orang tua-orang tua di masa lampau mengadakan pesta pernikahan dan yang membiayainya adalah orang-orang Tionghoa yang berada di Payakumbuh.
“Masih ada tanda diberi berapa sen waktu itu, sekitar 1000 sen dari seratus tahun yang silam , tambahlah hubungan baik kita, jika ada kematian dan pesta pernikahan di lingkunganya, kita juga akan datang, jika dari kita ada perhelatan pun mereka juga datang. Kami datang tu bawa beras, kelapa, gitu hubungan baiknya dulu,” ujarnya sambil mempersilahkan kami untuk menyantap minuman di atas meja ruang tamu.
Saat obrolan itu berlangsung di ruang tamu kami tak hanya berempat, tapi juga ada Robby, salah satu anaknya Bundo yang memiliki banyak pengetahuan terkait apa yang sedang kami telusuri. Robby pun menyambung perkataan bundo yang menurutnya seiring perkembangan zaman yang telah berubah, musim berganti dan tentunya siklusnya juga berubah. Cara zaman dahulu dengan zaman sekarang sudah berbeda.
“Dulu zamannya seperti yang dibilang bundo tadi itu, hubungan baik itu, setiap ada kematian mereka pasti singgah ke rumah ini dulu (rumah gadang). Sebab itu zamannya yang pertama, contohnya dari situ mereka sedikitnya sudah membeli lahannya, sebelumnya belum seperti itu, mereka belinya perkubur, istilahnya hubungan baiknya mereka datang mengabarkan ada yang berpulang,” ujarnya.
“Jadi karena zaman dan musim tadi sudah ada hubungan baik berubahlah cara mungkin perubahan dari siklus ninik mamak pun sudah ada perubahannya juga semenjak yang tetuanya meninggal yang menjaga bukit itu, sudah ada perubahan karena musim tadi. Terlepas dia membeli lebih besar di situlah mulai hubungan ini bukan renggang tapi siklusnya seperti itu. Setelah pindah dari rumah gadang 1981 jadi kan sudah ada perubahan setelah itu,” tambah Robby.
Lebih lanjut bundo menjelaskan bahwa orang-orang keturunan Tionghoa memilih Bukit Panjomuran ini selain dikarenakan faktor utama hubungan baik dan juga karakter sifat kejujuran yang dimiliki oleh keturunan etnis Tionghoa.
“Mungkin seperti ini, diawali dengan pertemuan urang awak (Red-Orang Minang) dengan keturunan Tionghoa di pasar, jadi diperkumpulan itu berhubunganlah ninik mamak dengan mereka, hingga terciptalah hubungan baik saat itu, mungkin ada perkenalan dalam cerita itu, ada gak tempat untuk kami kan gitu, mungkin ada tempat untuk kami dan salah satu ninik mamak menawarkan bukit itu, dari situ mungkin asal mulanya. Atau mereka yang meminta orang Tionghoa, karena negeri ini belum memiliki orang kan dan mereka meminta mungkin ada dan orang Tionghoa tahu pula sejarah Payakumbuh saat itu,” jelasnya.
Bundo juga menuturkan dalam perayaan adat istiadat orang Tionghoa yang dinamakan Perayaan Hari Ceng Beng yang jatuh setiap 5 April, sampai hari ini masih mengikutsertakan seluruh masyarakat yang berada di kelurahan Padang Karambia. Dalam Perayaan Ceng Beng ini nanti akan ada dua makanan pokok yaitu babi dan kambing, babi diberikan kepada orang Tionghoa sedangkan kambing diperuntukkan untuk yang masyarakat Padang Karambia yang beragama islam.
“Perayaan berkubur itu pasti mereka tetap ada laporan ke kelurahan, ke kita, khususnya masyarakat sini. Sama kayak sekarang misalnya daerah di luar Padang Karambia itu secara tidak langsung mereka sudah tahu bahwa lima April acaranya orang Tionghoa. Untuk kambing nanti ninik mamak di sini diundang semuanya makan di sana, tapi orang yang memasak kambingnya tetap orang Minang. Itulah salah satu bentuk hubungan baik sosial kita,” ujarnya.
Setelah menyimak cerita bundo Lidayati dan anaknya Robby, saya dan Elci di bawa oleh Ketua LPM Padang Karambia Joni dan salah satu pemuda daerah itu untuk mengunjungi Bukit Panjomuran. Lokasi bukit tidak jauh dari simpang masuk tempat kami berdiri. Hanya melewati jalanan tanjakan beraspal yang sisi kanan kirinya banyak pepohonan dan jurang yang dangkal. Lebih kurang lima menit kami sampai di lokasi sebelah kiri dari badan jalan.
“Nanti kita mendaki pake sepeda motor aja ya, kalau jalan jauh sekali,” kata Joni mengarahkan kami yang sudah bersiap untuk nanjak.
Kami pun memulai touring pendek melewati jalanan aspal beton yang tracknya sudah dibuat jelas dan bisa dilewati dengan motor. Awal menyusuri bukit ini ada dua sisi jalan, arah ke bawah dan arah ke atas. Joni pun memandu kami melewati jalanan ke bawah yang kanan dan kirinya masih penuh dengan semak belukar.
Di sanalah Joni menunjukkan kepada kami makam tetua orang Tionghoa yang sebelum wafatnya atau semasa hidupnya menjaga Bukit Panjomuran ini dengan baik. Makamnya termasuk salah satu makam yang terluas dan besar, memiliki ornamen keramik berwarna putih, biru dan merah.
Setelah melihat makam tetua kami pun bergegas berputar arah dan menyisir jalanan bagian atas untuk melihat makam etnis Tionghoa lainnya. Rasanya kami seperti sudah mengelilingi seperempat dari lekukan Bukit Panjomuran ini. Banyak sekali makam yang kami temui hingga jalanan ke atas, ada yang bentukannya kecil, besar, dan besar sekali.
Menurut Joni nantinya sebelum Perayaan Hari Ceng Beng akan dilakukan pembersihan lahan, semua rumput yang sudah tinggi dan menutupi makam akan dibersihkan sampai mencapai puncak lokasi klenteng.
“Nanti akan nampak semuanya dari bawah, biasanya keluarga etnis Tionghoa yang memiliki makam keluarganya di sini mulai dari 1 April sudah banyak yang berdatangan meski puncak perayaannya jatuh di 5 april. Karena ada yang datang dari luar kota untuk berziarah ke makam keluarganya,” jelas Joni.
Tanpa berlama-lama di atas, karena pukul sudah menunjukkan setengah empat sore, kami pun bersama-sama turun kembali ke bawah. Satu hal yang membuat saya penasaran sejak awal datang adalah di lokasi awal masuk Bukit Panjomuran ini pandangan mata saya langsung tertuju melihat sebuah bangunan besar yang diberi nama, Los Ziarah Pemakaman Tjan Boen Seng.
Ornamen yang identik dengan warna merah, kuning, hijau, dan hitam itu ternyata adalah tempat persinggahan sementara bagi pelayat & peletakan peti jenazah sebelum menuju pemakaman serta tempat sembahyang bersama pada Hari Ceng Beng. Saya pun perlahan-lahan mulai membaca sejarah bangunan yang tertempel pada catatan di dinding. Dalam catatan sejarah itu dijelaskan bahwa pemakaman diperuntukan untuk masyarakat Etnis Tionghoa, yang secara umum merupakan antar Kongsie Heng Beng Tong (sekarang menjadi Himpunan Bersatu Teguh) dari Kongsie Hok Tek Tong, yang telah dipergunakan sejak sebelum tahun 1900.
Pada tahun 1981 oleh Tan Hock Tjiong & Tjan Boen Seng, yang merupakan dua orang sahabat baik yang telah merantau & meninggalkan kota kelahirannya Payakumbuh, berinisiatif merenovasi & memperpanjang bangunan rumah singgah yang penggunaannya diresmikan bersamaan pada Hari Cheng Beng tanggal 5 April 1981, dengan menamakan rumah singgah menjadi nama bangunan LOS.
Atas kesepakatan bersama dalam Pengurus Himpunan Sosial & Ziarah Pemakaman yang merupakan perkumpulan gabungan masyarakat Tionghoa Payakumbuh, yang beranggotakan HBT & HTT yang diketuai oleh: Thalib & Hauwanto Budiman. melakukan perbaikan pada bangunan los dan pengedaman tanah samping los yang penggunaannya diresmikan pada tanggal 11 September 1999.
Lebih lanjut dalam catatan sejarah itu menjelaskan mengetahui kondisi bangunan yang mulai rusak dan sering terjadi genangan air akibat rendahnya lantai los dari jalanan, dimana Tan Hock Tiong selaku toako honor HBT menyampaikan keinginannya untuk membangun & membiayai sepenuhnya sebuah bangunan los yang baru untuk mengembalikan fungsi menjadi sebuah bangunan los yang peruntukannya murni sebagai tempat transit & istirahat serta tempat sembahyang bagi pelayat & peziarah yang membutuhkannya.
Setelah berkoordinasi bersama antara lintas perkumpulan HBT & HTT Payakumbuh maka pada tanggal 26 Januari 2016 pembongkaran seluruh bangunan los lama & pembangunan los baru dimulai. Oleh Toako Kehormatan HBT Tan Hock Tiong menyerahkan pembangunan los ini kepada Toako Sho Yong Tjuan, dan pelaksanaannya kepada hiati Gho Han Fei.
Pembangunan yang dibawah tanggung jawab dan pengawasan bersama jajaran pengurus HBT & HTT ini dapat diselesaikan serta diresmikan penggunaannya bersamaan dengan hari Cheng Beng 5 April 2016 oleh Toako Kehormatan HBT Tan Hock Tjiong, dengan memberi nama pada bangunan tersebut LOS TJAN BOEN SENG, yang merupakan sebuah nama tokoh masyarakat perantau asal Payakumbuh yang pernah berjasa & berbuat untuk pembangunan los pada tahun 1981 bersama dengan Tan Hock Tjiong.
“Dulunya Los ini bentuknya gak seperti ini, hampir memenuhi badan jalan. Setelah di renovasi dan dipercantik jadilah seperti ini. besok pas Ceng Beng pasti akan ramai yang hadir,” ujarnya.
Seberes berbincang yang cukup lama, akhirnya kami sama-sama mengakhiri cerita dari kebudayaan Tionghoa yang ada di Payakumbuh. Kami pun sama-sama meninggalkan lokasi Bukit Panjomuran dan Los Tjan Boen Seng tersebut.
Rupanya penjelasan terkait hal ini pun belum benar-benar berakhir, tepat pada pukul dua siang, Senin, 13 Februari 2023 saya dan Elci kembali menemui satu narasumber terakhir di Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kota Payakumbuh. Hari itu tim Kesbangpol akan melakukan diskusi serta audiensi dengan beberapa utusan dari etnis, ras, suku yang ada di Payakumbuh untuk membahas kampung pembauran.
Tujuan utama saya ke sana ialah menemui Sekretaris Himpunan Bersatu Teguh (HBT) Cabang Payakumbuh Widianto. Dengan memakai baju berwarna hitam, celana jeans abu-abu dan memegang secarik kertas, Widianto mulai berbicara.
Senada dengan yang dijelaskan oleh Joni Wifra perihal Ceng Beng, menurut Widianto selain berisikan makanan pokok babi dan kambing. Dalam perayaan itu juga akan banyak didapati makanan khas etnis Tionghoa lainnya seperti buah-buahan, makanan, kue-kue dan lainnya.
“Kepercayaan leluhur kan itu kita berikan istilahnya kalau kita orang hidup ini kita mengundang orang makan untuk perayaan makan, tapi kalau bagi kami orang yang sudah meninggal itu hari raya mereka ya Ceng Beng itu. Kalau yang masih hidup perayaannya seperti imlek dan lainnya,” ujarnya.
Tak banyak yang saya tanyakan kepada Widianto, beberapa hal pertanyaan lainnya dikemukan oleh Elci untuk melengkapi pendataan tugasnya. Saya hanya banyak mendengarkan serta menambah pengetahuan baru terkait kebudayaan lain etnis Tionghoa yang ada di Payakumbuh.
Tepat pukul tiga sore, awan mendung datang memberikan isyarat akan turunnya hujan, saya dan Elci yang saat itu mengendarai motor langsung bergegas meninggalkan kantor Kesbangpol yang diskusi alotnya sedang berjalan dengan lancar.