Krisis perubahan iklim merupakan ancaman terbesar bagi dunia, khususnya berdampak kepada kesehatan anak-anak.
World Health Organization (WHO) mengklasifikasikan empat dampak perubahan iklim bagi anak-anak, salah satunya dampak terhadap kesehatan anak melalui prilaku manusia, seperti kasus kekerasan anak yang semakin hari semakin nyata hidup berdampingan di lingkungan anak-anak.
Rabu, 23 Agustus 2023. Pukul 10.09 WIB, kantor Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) Markas Kepolisian Resor (Mapolres) Kota Payakumbuh, Sumatera Barat sudah beroperasi.
Terlihat para petugas yang berwenang di unit itu sedang bekerja sesuai porsinya di ruangan, saya seorang diri berjalan menuju unit tersebut untuk menanyai dan mengumpulkan data-data perihal Kasus Kekerasan Anak di Kota Payakumbuh dalam rentang waktu Januari-Agustus 2023.
Hari itu hasilnya nihil, tidak ada data yang saya dapatkan selama menunggu satu jam dikarenakan harus adanya surat penugasan dari media Pers tempat bekerja yang dimasukkan ke Polres, jika sudah ada baru bisa di proses untuk diizinkan melakukan wawancara.
Meski begitu, hal lain yang bisa diperoleh adalah dalam sehari banyak keluarga yang membawa anaknya, suami atau istrinya, atau pun pergi seorang diri melakukan pengaduan di Unit PPA tersebut.
Meskipun adanya penolakan di hari pertama, tidak menyurutkan langkah dan semangat saya, setelah redaksi melakukan koordinasi serta meloby pihak Polres Payakumbuh, akhirnya pada Senin, 28 Agustus 2023 pukul 11.03 WIB saya memasuki ruangan Unit PPA Polres Payakumbuh tersebut.
Bentuk ruangannya seperti bangunan lama, ada enam meja dan kursi kerja yang masing-masing diduduki oleh empat juru periksa, tiga laki-laki dan satu perempuan. lalu satu meja dibiarkan kosong dan satunya lagi diisi oleh pimpinan unit.
“Ada yang bisa kami bantu, dek?,” kata Kanit PPA MS Rambe menghampiri
“Saya ingin wawancarai pak Kanit,” kata saya sambil membuka catatan dan rekaman
Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA), MS Rambe langsung mengeluarkan buku arsip pelaporan kasus kejahatan yang ditangani oleh Tim PPA dan mulai membolak-balikkan perhalaman buku tersebut guna merekap kasus bulanan yang sempat tertinggal.
Menurutnya Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Payakumbuh menerima pelaporan terbanyak dari kasus kekerasan anak yang terjadi di Kota Payakumbuh hingga pertengahan 2023.
Di antara semua jenis kejahatan yang mengarah kepada anak, terhitung dari data di Januari-Agustus 2023 sebanyak 22 kasus kekerasan anak dengan kenaikan data 8 kasus di Juli.
Tak hanya kasus kekerasan anak, Kanit MS Rambe juga mengungkapkan dari data yang sudah direkap dari Januari hingga Agustus 2023 terdapat sebanyak 17 Kasus KDRT, Kasus Pencabulan/Persetubuhan sebanyak 13, Kasus Eksploitasi berupa TPPO sebanyak 1, Kasus Pencurian 1 yang dilakukan oleh anak.
“Paling banyak itu Kasus Kekerasan Anak ada 22, kecamatan yang banyak melaporkan ada dari Payakumbuh Utara, Payakumbuh Barat, tapi kayaknya lebih banyak di Payakumbuh Barat,” ucapnya di Kantor PPA Mapolres Payakumbuh pada Senin, 28 Agustus 2023.
Menurut analisanya untuk kasus kekerasan anak banyak terjadi di atas pukul 22.00 WIB malam. Bahkan terjadi di pukul 03.00 WIB dini hari. Kekerasan anak ini bukan hanya pelaku dari orangtuanya tetapi lebih banyak disebabkan oleh pelaku dari pihak luar.
“Nanti pulang sekolah, ketemuan temannya dihajar, atau nanti malam ketemuanya kayak balap liar, bertengkar. Kekerasan anak ini pun kadang-kadang kita jadi tanda tanya, anak-anak jadi korban. Kadang kan peranan orangtua apakah di sana ada. Ngapain anak jam 3 pagi di luar. Bukannya sekolah, bukannya untuk belajar,” jelas Rambe
Sedangkan jika masalah kekerasan dalam rumah tangga salah satu penyebabnya adalah ekonomi. Kalau yang lainnya itu seperti masalah anak tidak terlalu tapi dalam KDRT yang mendominasi penyebabnya datang dari ekonomi.
Entah itu ke pekerjaan suami atau istri sehingga imbasnya kepada anak. Jika masalah anak yang terjadi karena pencabulan/persetubuhan itu karena pergaulan. Kemudian yang paling banyak melakukan persetubuhan pelaku dari bapak tiri.
Menurutnya sebagian dari yang dilaporkan dominannya bapak tiri, meskipun ada juga ditemukan pelakunya dari pacarnya tapi hal itu tidak terlalu banyak, lebih banyak pelaku datang dari bapak tiri.
“Karena mungkin orangtua perempuannya entah kemana dan bapak tirinya di rumah, kemarin ada di daerah Luhak terus terakhir di Talang. Kalau lingkup rumah tangga itu istilahnya yang terdekatnya. Sebagian itu karena pacarnya, ya anak-anak umur 14-15, anak-anak SMP yang udah punya pacar, di coba-coba karena pengen, karena pengaruh salah satunya media. Gak bisa dipungkirin juga hal itu,” ujarnya.
Sementara itu, meskipun banyak pengaduan kasus yang masuk, tentunya ada kendala yang dihadapi Unit PPA, Rambe mengatakan kurang adanya keterbukaan dari anak dan orangtua. Sehingga ketika ada pelaku atau korbannya perempuan, yang ditugaskan untuk mengungkap serta mengintrogasi adalah Polwan.
“Kemudian masyarakat yang tidak memenuhi panggilan, kadang alasannya klasik, saya kerja pak. Kita paham, kadang-kadang kita kejar ke bawah juga (red-lapangan) untuk mintai keterangan, itu aja kendala kita,” katanya.
Tak hanya kendala, Upaya perlindungan juga dilakukan oleh Unit PPA yang di mana bekerja sama dengan Satuan Pembinaan Masyarakat (SatBinmas) yang memberikan penyuluhan-penyuluhan terkait masalah KDRT, kekerasan terhadap anak yang mana pelakunya itu anak, dan korban anak, pidana terhadap anak.
“Ya kita memberikan semacam penyuluhan dan disampaikan di situ. Kadang ada juga dari P2TP2A ke sekolah dan masyarakat. Kalau ada pengaduan yang masuk biasanya ke bagian depan Polres, kalau udah ke Unit, nanti di proses seperti ini, setelah kita terima nanti saya distribusikan ke bagian juru periksanya,” jelasnya.
Dikatakan Rambe, kecuali jika ada hal urgent yang istilahnya perlu upaya penangkapan langsung, itu nanti Kasat memimpin langsung bersama unit untuk turun.
DP3APPKB Payakumbuh Terima Laporan 10 Kasus Kekerasan Anak Hingga Pertengahan 2023
Senada dengan hal itu, di hari yang sama, saya juga turut menelusuri Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Payakumbuh untuk memintai keterangan kasus kekerasan anak yang isunya terus berkembang di tengah masyarakat.
hal yang ditemukan ialah, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana (DP3APPKB) melalui tim Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Payakumbuh menerima pelaporan sebanyak 10 kasus kekerasan terhadap anak hingga pertengahan tahun ini.
Sub Koordinator Perlindungan Khusus Anak, Noni Desrita mengatakan kasus kekerasan pada anak di Payakumbuh yang masuk di 2023 sebanyak 10 kasus. Bentuknya mulai dari kekerasan seksual, kekerasan fisik, dan penelantaran rumah tangga.
“Sedangkan untuk kasus eksploitasi sendiri data yang masuk tidak ada, cuma kalau kita lihat-lihat pasti ada di masyarakat, hanya saja laporan yang masuk belum ada,” katanya di Kantor DP3APPKB pada Senin, 28 Agutus 2023.
Tak hanya itu, Noni juga menyampaikan upaya penyelesaian jika ada kasus terkait, yang pertama jika kasus kekerasan terhadap anak tersebut bentuknya kekerasan fisik maka bisa diselesaikan dengan mediasi. Sepanjang kasus tersebut bisa di mediasi dan akibatnya tidak terlalu ke anak.
“Kita lihat-lihat juga dampaknya ke anak tapi kalau kekerasan seksual itu harus ke badan hokum atau polisi, kalau kekerasan fisik bisa diselesaikan dengan mediasi,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Kota Payakumbuh Wawan Sofianto juga menyampaikan jika di kesehatan ketika ada yang mengalami gangguan kesehatan terhadap fisik tertentu yang masyarakat menindaklanjutinya ke Dinkes. Namun jika sifatnya kekerasan pada anak atau rumah tangga biasanya masyarakat melakukan pelaporan ke DP3APPKB.
“Jika ada ditemui hal seperti itu di lapangan, kita di kesehatan hanya melakukan pemeriksaan, setelah itu ditindaklanjuti atau diserahkan kepada instansi terkait,” katanya di Kantor Dinkes Payakumbuh pada Jumat, 25 Agustus 2023.
Melihat fenomena yang terjadi di Payakumbuh yang angka kenaikan kasus kekerasan anak lebih mendominasi hingga pertengahan tahun, tidak menutup kemungkinan angka tersebut akan terus melonjak naik sampai 2023 berakhir.
Berdasarkan data resmi dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (Kemenpppa RI). Jumlah kasus kekerasan di Indonesia berjumlah 17.073 terinput dari 1 Januari 2023 hingga saat ini, untuk kasus kekerasan dengan korban anak di Sumatera Barat sebanyak 61 korban dengan angka rate 1.390009251537.
Sedangkan yang terbanyak terdapat di Papua Pegunungan dengan jumlah korban anak 484 korban dengan angka rate 6.8912492524988. Sementara itu di tahun 2022 ada 21.241 anak Indonesia yang menjadi korban kekerasan, kekerasan tersebut tak hanya diterima secara fisik namun psikis, seksual, penelantaran, perdagangan orang, hingga eksploitasi.
Krisis Perubahan Iklim Berdampak Terhadap Kekerasan Anak
Dalam keterangan Spesialis Advokasi Senior di End Violence Partnership, Bess Herbert melalui Artikel How Climate Crisis Driving Violence Against Children And What We Can Do About It, yang sudah melakukan eksplorasi mengenai bagaimana keadaan darurat iklim bisa berdampak pada kekerasan terhadap anak (VAC).
Melalui Tesisnya, ia mengatakan semakin banyak laporan yang menggambarkan peningkatan kekerasan terhadap anak-anak dalam dan setelah terjadinya bencana iklim dan situasi kemanusiaan yang terjadi secara cepat dan lambat.
Dalam konteks perpindahan penduduk dan migrasi, kelangkaan dan konflik pangan , meningkatnya jumlah pekerja anak, pernikahan anak dan FGM, kekerasan terhadap orang tua, kekerasan berbasis gender yang lebih luas, dan kekerasan emosional.
Tak hanya itu, dampak perubahan iklim ini juga banyak memberikan tekanan tehadap rumah tangga yang memiliki keluarga paling rentan. Kemudian dilanjuti dengan stress yang membuat hilangnya mata pencaharian, rumah, harta benda, kenaikan harga dan kelangkaan pangan serta pergolakan sosial.
Menurutnya anak-anak adalah pihak yang paling sedikit berkontribusi dalam menciptakan krisis iklim, namun merekalah yang menaggung beban terberat saat ini dan masa depan.
***
Upaya Perlindungan Untuk Anak-Anak
Melansir dari laman resmi Unicef, dikatakan bahwa kekerasan terhadap anak belum dilarang dalam semua pengaturan (perkosaan dalam pernikahan masih diizinkan), dan sistem keadilan untuk anak-anak belum memprioritaskan perlindungan bagi semua anak yang berurusan dengan hukum.
Dari anggaran pemerintah didedikasikan untuk melindungi anak-anak dari kekerasan hanya kurang dari 0,1 persen dari total anggaran. Tak hanya itu, prosedur administrasi publik yang kompleks dan kurangnya kewenangan yang diamanatkan untuk perlindungan anak mengakibatkan kesulitan dalam menyediakan layanan yang efektif untuk anak-anak yang rentan. Sekitar 17 persen anak-anak di bawah usia 18 tahun tidak memiliki akta kelahiran, yang menyebabkan sulitnya untuk mengakses layanan utama.
Jika hal seperti itu terjadi, solusi yang dikeluarkan Unicef berupa membantu membangun sistem perlindungan anak untuk mencegah dan menanggulangi kekerasan, pelecehan, penelantaran dan eksploitasi. Seperi mereformasi undang-undang dan memperbarui kebijakan sesuai dengan standar HAM internasional, mengembangkan pakar profesional perlindungan anak, dan penyaringan serta pelacakan anggaran untuk meningkatkan manajemen keuangan publik bagi anak-anak.
membantu meningkatkan visibilitas pelanggaran hak anak dan mendorong debat publik terbuka tentang isu-isu utama, seperti anak-anak migran dan pengungsi, pekerja anak, pernikahan anak dan registrasi kelahiran.
***
Jika solusi-solusi yang dihadirkan oleh Unicef seperti itu, instansi-instansi Pemerintah Daerah pun turut bekerja sama untuk melakukan upaya-upaya agar masyarakat bisa melek terhadap kasus kekerasan anak baik yang terjadi di dalam rumah maupun di luar rumah.
Siang menjelang sore, panas matahari masih terik, parkiran motor dan mobil tidak terlalu ramai, ruangan kantor DP3APPKB sudah sepi, mungkin orang-orang sedang bepergian keluar atau sedang melaksanakan tugas turun lapangan.
Namun, Kepala Bidang Perlindungan Anak dr Yanti masih berada di ruangan, saat ditanyai perihal apa yang dilakukan untuk mengantisipasi kekerasan pada anak ini, ia menyebutkan bahwa di P2TP2A juga melakukan upaya-upaya seperti mengadakan penyuluhan-penyuluhan, sosialisasi ke sekolah dan masyarakat baik mengenai perlindungan anak dan pemberdayaan perempuan.
“Biasanya kita melakukan penyuluhan dan sosialisasi, bekerja sama dengan yang lainnya karena di sini juga ada forum anaknya,” katanya.
Penuturannya sekaligus menutup penelusuran yang saya lakukan, Kota Payakumbuh yang memiliki jumlah penduduk 143 325,00 per2022. Dengan luas 80,43 km dengan ibukota provinsi yaitu Padang, Sumatera Barat. Nantinya bisa lebih bergerak lagi untuk mencegah kasus kekerasan terhadap anak agar tidak lagi menjadi kasus kejahatan yang mendominasi di Payakumbuh. (Laila Lubis)