Oleh: Habibur Rahman (Mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi)
Paulo Freire dan Tan Malaka adalah dua tokoh besar yang sampai saat ini dikenang dengan kapasitas dan kontribusi lewat karya dan pemikirannya, meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda, namun di antara keduanya memiliki kesamaan dalam pemikiran mereka terkait pendidikan, kebebasan, dan perjuangan kelas.
Paulo Freire adalah seorang pendidik dan filsuf Brasil yang terkenal dengan teorinya tentang pendidikan kritis, sedangkan Tan Malaka adalah seorang konseptor Republik Indonesia yang berjuang melawan kolonialisme dan ketidakadilan sosial, melalui tulisan-tulisannya yang sangat fundamental sebagai alat melawan ketidakadilan. Kedua tokoh ini melihat pendidikan sebagai alat untuk membebaskan manusia dari penindasan dan sebagai sarana untuk membangun kesadaran kritis di kalangan rakyat tertindas.
Pendidikan sebagai Alat Pembebasan
Salah satu kesamaan yang paling mencolok antara Paulo Freire dan Tan Malaka adalah pandangan mereka tentang pendidikan sebagai alat untuk membebaskan individu dan masyarakat dari penindasan. Freire dalam bukunya “Pedagogy of the Oppressed” menekankan pentingnya pendidikan yang dialogis, di mana murid bukan hanya objek dari proses pendidikan, tetapi juga subjek yang aktif berpartisipasi. Ia mengkritik model pendidikan “gaya bank”, di mana guru dianggap sebagai satu-satunya pemilik pengetahuan dan murid hanya menerima informasi secara pasif. Freire berargumen bahwa model ini justru memperkuat penindasan, karena tidak memberikan ruang bagi murid untuk berpikir kritis dan mempertanyakan status quo.
Pandangan ini sangat selaras dengan pemikiran pria kelahiran Pandan Gadang itu, yang juga melihat pendidikan sebagai sarana untuk membangkitkan kesadaran rakyat, terutama kelas pekerja. Dalam bukunya “Madilog” (Materialisme, Dialektika, Logika), Tan menekankan pentingnya pendidikan ilmiah dan kritis untuk melawan kebodohan yang dipaksakan oleh kolonialisme kala itu. Menurut Tan Malaka, pendidikan yang benar harus membebaskan individu dari dogma dan kepercayaan buta yang hanya memperkuat status quo kolonial dan bersifat feodal. Dalam hal ini, baik Freire maupun Tan Malaka melihat pendidikan sebagai proses pembebasan yang harus melibatkan pengembangan kesadaran kritis di kalangan rakyat, terutama rakyat yang tertindas.
Perjuangan Kelas dan Kesadaran Kritis Freire maupun Tan Malaka sama-sama memandang bahwa penindasan sosial yang terjadi di masyarakat sangat erat kaitannya dengan perjuangan kelas. Freire berpendapat bahwa ketidakadilan sosial yang dialami oleh kaum tertindas bukanlah sesuatu yang alami, melainkan hasil dari struktur sosial yang tidak adil. Oleh karena itu, pendidikan harus difokuskan pada upaya membangkitkan kesadaran kritis mengenai realitas ini, sehingga kaum tertindas dapat memahami akar penyebab dari penindasan yang mereka alami dan akhirnya bertindak untuk mengubah kondisi tersebut. Kesadaran kritis ini, menurut Freire, adalah langkah pertama menuju revolusi sosial yang sejati.
Pemikiran ini sejalan dengan pandangan Tan Malaka, yang sangat dipengaruhi oleh Marxisme dan menekankan pentingnya perjuangan kelas dalam mencapai kebebasan sosial. Dalam karya-karyanya, Tan Malaka menegaskan bahwa penindasan yang dialami oleh rakyat Indonesia bukan hanya akibat dari kolonialisme, tetapi juga karena adanya kelas-kelas sosial yang saling bertentangan, terutama antara kaum pekerja dan kelas borjuis. Ia percaya bahwa revolusi sosial hanya bisa dicapai jika rakyat memahami dinamika kelas yang ada di dalam masyarakat dan bersatu untuk melawan kelas penindas. Dalam hal ini, pendidikan memainkan peran penting dalam membangun kesadaran kelas dan memobilisasi rakyat untuk berjuang melawan ketidakadilan.
Dialog dan Partisipasi Rakyat
Satu lagi aspek penting dari pemikiran Freire dan Tan Malaka adalah pentingnya dialog dan partisipasi rakyat dalam proses perubahan sosial. Freire sangat menekankan bahwa pendidikan yang membebaskan haruslah bersifat dialogis, di mana ada pertukaran ide yang setara antara pendidik dan peserta didik. Bagi Freire, dialog bukan hanya sarana untuk menyampaikan informasi, tetapi juga alat untuk membangun kesadaran bersama mengenai masalah-masalah sosial yang ada.
Demikian pula, Tan Malaka percaya bahwa revolusi sosial harus didasarkan pada partisipasi aktif dari rakyat, bukan sekadar dipimpin oleh elite politik. Dalam karyanya, Tan Malaka sering kali menekankan bahwa rakyat harus terlibat langsung dalam perjuangan untuk kebebasan, baik melalui aksi massa maupun pendidikan politik. Ia menolak gagasan bahwa perubahan sosial bisa dicapai hanya melalui jalur birokrasi atau politik formal, melainkan harus melalui perjuangan bersama yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Partisipasi rakyat, baik dalam pendidikan maupun dalam gerakan politik, adalah kunci untuk mencapai revolusi yang sejati.
Meskipun Paulo Freire dan Tan Malaka hidup di tempat dan waktu yang berbeda, pemikiran mereka memiliki banyak kesamaan, terutama dalam hal pandangan tentang pendidikan sebagai alat pembebasan, pentingnya kesadaran kritis dalam perjuangan kelas, serta peran sentral dialog dan partisipasi rakyat dalam proses perubahan sosial. Keduanya percaya bahwa untuk membebaskan masyarakat dari penindasan, pendidikan harus difokuskan pada upaya membangun kesadaran kritis dan memobilisasi rakyat untuk melawan ketidakadilan. Pemikiran mereka memberikan inspirasi bagi gerakan sosial di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, dalam upaya membangun masyarakat yang lebih adil dan merdeka.