Masjid Raya Piladang yang terletak di Lurah Sandiang, Jorong Piladang, Nagari Koto Tangah Batu Hampar, Kecamatan Akabiluru, Kabupaten Lima Puluh Kota merupakan salah satu masjid tertua di Kabupaten Lima Puluh Kota.
Siapa menyangka bahwa Masjid Raya Piladang ini ternyata pernah menjadi saksi bisu dalam peristiwa Agresi Militer Belanda II pada tahun 1948.
Menurut informasi, ada beberapa versi pendirian Masjid Raya Piladang, dimana dalam catatan Kementerian Agama Republik Indonesia, masjid ini didirikan oleh Syekh Muhammad Salieh pada 1884 sedangkan menurut Ja’far Jalil (83 tahun) salah satu anggota keluarga yang mengetahui seluk beluk pendirian masjid mengatakan masjid ini dibangun sekitar 1876.
“Oleh Datuak inyiak Rajo Dirajo, makamnya ada disebelah masjid, adanya masjid raya ini sama dengan perkembangan nagari. Jadi di sini sudah lengkap ninik mamak dulu, sudah merupakan satu kesatuan hukum adat yang bernama 3 alur piladang. Ketika itulah di program masjid raya piladang ini,” ujar Ja’far saat ditemui sudutpayakumbuh.comdikediamannya jorong Piladang pada Senin 13 Maret 2023.
Menurut Ja’far ketentuan pendirian masjid dulu setelah ninik mamak di sini sudah utuh satu kesatuan hukum adat Piladang maka ditetapkanlah oleh Datuak Ampek Suku untuk seluruh ninik mamak itu babalai adaik di Lubuak Nunang, mosajik dipasandiang, datuak ompek di Lubuak Malintang.
“Di sini yang dipakai adalah sistem Datuak Parpatiah bukan Datuak Ketumanggungan, di sini tidak ada Datuak Pucuak yang ada Datuak Ampek, balai adatnya bertingkat, kalau bapucuak itu balai adatnya datar. Sistem di situ sidang-sidang ninik mamak dan umumnya kita Lima Puluh Kota memakai sistem Datuak Parpatiah,” katanya.
Masjid Raya Piladang berdiri di atas lahan seluas 1.600 m dengan luas bangunan 900 m, dulunya masjid ini dibangun 12×12 meter dengan menggunakan atap ijuk dan tonggak kayu. Menurut Ja’far dulunya masjid ini hanya ditopang dengan tonggak mencu.
“Ditengah-tengah posisi tonggaknya dengan dua orang dewasa saling megang tonggak tersebut belum juga sampai tangannya. Tonggaknya tidak tanam tapi diberdirikan saja waktu itu.” ujarnya.
Lebih lanjut Ja’far menjelaskan pada Tahun 1926 masjid ini runtuh dikarenakan gempa yang terjadi di Padang Panjang. Masjid yang pada saat itu dibangun pertama kali beratapkan ijuk dan memakai tonggak kayu mencu, dikarenakan roboh kayu itulah yang digunakan kembali untuk mengganti tonggak-tonggak yang rusak.
“Kayu mencu itu diambil dulu dari daerah Sungai Beringin Rimbo Sati, kami gotong royong menjemput kayunya lewat aliran sungai. Setelah runtuh itu atapnya sudah seng tapi tonggaknya kayu, baru direhab dan diberi beton, itu kita sudah merdeka diberikan beton,” ujarnya.
Saksi Bisu Agresi Militer Belanda II
Sehari setelah pembentukan dan pengumuman kabinet Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada 22 Desember 1948. Saat itu selain Bukittinggi beberapa kota kecil di Sumbar juga diserang oleh Belanda termasuk Kota Payakumbuh. Menurut Ja’far pada saat itu Masjid Raya Piladang ini sudah bisa dialiri listrik karena sudah merdeka.
“Dulu ada namannya pasbrik kina untuk membuat pil kina, kinanya dari Halaban, menjelang Belanda masuk supaya itu tidak dipakai oleh belanda untuk menjajah lagi maka tentara kita pada saat itu membakarnya,”ujarnya.
Tak hanya itu, ketika masa darurat belanda, Ja’far menceritakan bagaimana kondisi masjid yang pada saat itu untuk kegiatan masih berjalan terus seperti biasa, dengan jumlah pengunjung yang sudah terbatas.
Saat itu tiap hari Jumat ada pasar Piladang namun bagi Belanda itu terpaksa harus ditutup serta pada saat pelaksanaan ibadah shalat Jumat meski banyak pasukan tentara Belanda berkeliaran untuk menyerang warga dengan senjata api dan bom tapi itu tidak sama sekali membuat goyah warga yang pada saat itu tetap melaksanakan shalat Jumat di masjid.
“Sewaktu Agresi Militer itu tiap hari Selasa mereka juga patroli, orang-orang lari semuanya, masuk ke rimbo-rimbo dan mereka tidak mau mengejar sampai ke belakang karena daerah ini adalah daerah paling ditakuti Belanda dulu. Kan dari Payakumbuh ke Bukittingi dan sebaliknya mereka berulang terus, mobilnya mobil militer,” ujarnya.
Hingga pada saat ini sejarah mengenai peristiwa pada hari Jumat itu masih menjadi pembicaraan bagi masyarakat setempat dan Masjid Raya Piladang sampai hari ini masih difungsikan sebagai tempat beribadah dan mengaji. Tak hanya itu untuk renovasi terbaru di dalam area masjid bagian dinding keseluruhan bangunannya sudah dilukis kaligrafi sehingga mampu menambah pesona keindahan tersendiri terhadap Masjid Raya Piladang.