Surau-surau di Minangkabau umumnya didirikan di daerah pedalaman, dekat persawahan, juga di antara kolam ikan. Di tempat-tempat di sekitar surau itulah biasanya kawanan itik menyudu segala yang patut disudu. Salah satunya siput. Biasanya, kawanan itik tak akan masuk ke dalam surau, apalagi bila banyak manusia yang lalu-lalang di sana. Mereka, itik-itik itu, hanya berkeliaran di sekitar kolam ataupun sawah saja, menjaga jarak aman dari aktivitas manusia.
Sesekali, tentu saja ada hal-hal yang membuat itik-itik itu masuk ke dalam surau. Berbaris rapi berjejeran, begitulah kawanan itik biasanya berjalan. Bila jarak sawah atau kolam tersebut jauh dari kandang, seorang gembala akan mengarahkan mereka sepanjang jalan pulang. Kalau tak ada hambatan di jalan, mereka akan berjalan sesuai ritme barisan. Seekor anjing yang datang tiba-tiba adalah salah satu hambatan di jalan pulang. Itu tak jarang membuat barisan itik berantakan. Terbang-hambur. Bila kejadian itu di sekitar surau, tentu itik-itik yang ketakutan tersebut bertebangan ke segala arah. Salah satunya, mereka akan mendudu begitu saja ke dalam surau, apalagi bila di pintu surau tidak ada manusia yang dilihatnya.
Namun begitu, ungkapan “itiak naiak ka surau” atau itik naik ke surau berasal dari gambaran kondisi yang lebih miris. Lebih dari sebab-musabab kecil seperti peristiwa yang digambarkan di atas. Itik naik ke surau merupakan ungkapan yang menggambarkan kondisi ketika tidak adanya lagi aktivitas di surau, yang membuat surau hanya jadi tempat yang lengang belaka, bahkan mungkin sudah jadi gubuk tak terurus. Saking lengangnya surau, tersebab tak ada lagi manusia yang beramai-ramai di dalamnya, maka diibaratkan kawanan itik pun bebas masuk dan berkeliaran di sana. Bahkan mungkin mereka sudah menganggap surau itu sebagai kandang mereka. Dalam hal pemaknaan yang pertama ini, ungkapan itik naik ke surau digunakan untuk menggambarkan suatu tragedi dari surau yang ditinggalkan.
Tak hanya itu. Ungkapan ini juga menunjukkan terjadinya percampurbauran dari kondisi-kondisi yang bertentangan, yakni antara “kesucian” dan “kekumuhan”. Katakanlah ada sebuah surau yang masih aktif, tapi suatu kali surau itu sedang lengang atau ada yang lupa menutup pintu. Ketika kawanan itik naik ke surau, kaki-kaki mereka penuh luluk atau lunau sawah. Setiap kali kaki mereka menapak, setiap itu pula sisa-sisa luluk menempel pada benda apa pun yang mereka injak. Kalau mereka berkeliaran serta terbang-hambur di dalam surau, tentu kaki-kaki mereka tak hanya menginjak lantai surau, tetapi juga telakung, kain sarung, lapik sembahyang, bahkan mungkin kitab yang sedang terbuka. Kalau terjadi seperti itu, tentulah tidak suci lagi perkakas-perkakas yang akan selalu dipakai untuk ibadah tersebut. Dalam pemaknaan yang kedua ini, “itik” dapat menjadi simbol untuk apa pun atau siapa pun yang telah merusak nilai-nilai suci dari surau. Ia masuk ke surau bukan untuk turut-serta menyucikan badan-dirinya, tetapi malah untuk membatalkan kesucian yang sudah ada di dalam surau itu sendiri.
Itulah pemaknaan dasar dari ungkapan “itiak naiak ka surau”. Semoga kita selalu menjaga dan merawat surau dengan segala aktivitas utamanya. Seperti kalam dari Buya Apria Tuangku Mudo Khalis, “Maka mari pulang ke surau kita! Kita benahi lagi, dimana kayu yang lapuk, pijakan yang beranjak.”