Sawah dan ladang adalah sepasang lahan pertanian yang menjadi aleh-bakua kebudayaan Minangkabau. Ini tidak hanya berarti kehidupan masyarakat tradisional Minangkabau bertopang pada hasil tanaman yang tumbuh di sana, kesusastraan pun bertumbuh dari aktivitas manusia di lahan pertanian tersebut. Karya-karya sastra Minangkabau itu, di antaranya seperti pantun, mamangan, dan pepatah-petitih, tidak hanya digunakan untuk kehidupan pertanian saja, tetapi juga bisa digunakan berbagai peristiwa di luar kehidupan pertanian.
Salah satu perumpamaan yang lahir dari aktivitas tersebut adalah “Ka Sawah Pangkua Balabiah” (ke sawah cangkul berlebih). Perumpamaan ini biasanya digunakan untuk menyampaikan suatu kondisi ironis. Untuk menjelaskan keironisan tersebut, kita bisa memulainya dari penjelasan atas kondisi sosial-budaya yang disiratkan oleh perumpamaan itu sendiri.
Biasanya, seorang petani di Minangkabau pergi ke sawah dengan satu tujuan yang sudah ditentukan sejak dari rumah. Tujuan-tujuan itu bisa saja berdasarkan kebutuhan-kebutuhan dari perkembangan padi di sawah (di antara seperti membuka atau menutup jalur air, menaikkan pematang, memasang penghalau burung) atau karena hal-hal tak terduga (di antaranya seperti kondisi alam seperti angin kencang atau banjir) yang menyebabkan tujuan ke sawah saat itu adalah untuk membereskan persoalan tersebut.
Tujuan-tujuan seperti itu umumnya perlu ditentukan sejak dari rumah karena sangat terkait sekali dengan perkakas apa yang akan dibawa dari rumah ke sawah. Seorang petani biasanya tidak membawa seluruh perkakas pertaniannya ke sawah setiap hari. Perkakas apa yang akan dibawa akan sangat tergantung pada kebutuhan-kebutuhan dari apa yang akan dilakukannya di sawah. Bila seorang petani berencana akan membereskan pematang sawah, maka tentu saja ia tak akan membawa sabit. Begitu juga bila ia mau mengurus sirkulasi air yang masuk dan keluar dari sawah, tentu saja ia tak akan membawa bajak.
Dalam konteks itulah perumpamaan “Ka Sawah Pangkua Balabiah” dapat memberikan makna ironis. Bayangkan saja seseorang pergi ke sawah, berangkat dari rumahnya dan melewati rumah-rumah penduduk, dengan membawa banyak cangkul, padahal ia hanya sendiri saja ke sawah. Tidak ada gunanya bila ia membawa cangkul berlusin-lusin. Apa-apa yang akan dilakukannya di sawah itu bisa diselesaikan dengan lebih cepat atau lebih baik justru tidak tergantung pada seberapa banyak cangkul yang dijujungnya ke sawah, melainkan tergantung pada keuletan dan ketelitiannya dalam bekerja. Satu cangkul saja tentu sudah cukup bila itu sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan yang akan dilakukannya.
Dengan demikian, dalam salah satu maknanya, perumpamaan tersebut bisa digunakan untuk menunjukkan perangai seseorang yang lebih senang memamerkan alat-alat daripada membuktikan keahlian dalam menggunakan alat-alat tersebut. Bisa juga digunakan untuk menggambarkan lelaku seseorang yang lebih mementingkan lagak-diri daripada kebutuhan-hidup.
Misal saja, di sebuah nagari di planet Mars, kita temukan seorang terpandang—misalnya pejabat publik—yang lebih suka memamerkan koleksi bukunya daripada menggali kandungan isi buku itu sendiri. Semua karya-karya yang belum dibaca orang sudah dimilikinya, tapi tak satu pun yang benar-benar dibacanya. Ia begitu fasih menyebut nama-nama pemikir dari seluruh penjuru dunia, tapi ketika diminta benar menyampaikan pokok pikiran tentang pemikir itu, tidak satu pun yang dapat terkatakan olehnya. Tentu ini akan lebih ironis lagi bila dilakukan oleh orang-orang yang profesinya berkaitan dengan dengan buku.
Begitulah kira-kira salah satu pemaknaan yang dapat kita sampaikan. Semoga kita senantiasa saling mengingatkan agar sama-sama terhindar dari perilaku “ka sawah pangkua balabiah”. Berlebih di perkakas saja. Menang di gaya belaka.