Jelajahi Maek dan Peradabannya, Dari Bukik Posuak, Pongek Maek, dan Menhir Megalitik.

Kamis 27 Juni 2024, pukul satu siang saat cuaca sedang terik-teriknya, dengan mengendarai sepeda motor saya bersama rekan perjalanan memutuskan untuk mengunjungi Nagari Maek yang berada di Kecamatan Bukik Barisan, Kabupaten Lima Puluh Kota Provinsi Sumatera Barat. Berdasarkan catatan dan arsip yang tersebar di media sosial Maek terkenal dengan misteri peradaban kunonya yang menarik, unik, dan belum terungkap.

Dari Kota Payakumbuh menuju Maek jarak tempuhnya cukup banyak memakan waktu ditambah lagi jalanan yang dilalui sering bertemu dengan kelokan tajam, tanjakan dan turunan yang menukik. Namun lebih indah dari itu, untuk menuju Nagari Maek Tuhan punya caranya sendiri memperlihatkan keindahan semesta dari berbagai sisi.

Kanan dan kiri jalan penuh dengan bukit, tebing, pepohonan tinggi dan besar, semak rumput yang elok memanjakan mata para pendatang akan kehijauannya. Sesekali berada di dataran yang landai awan-awan berkumpul menampakkan sisi garis lekukannya di langit.

Area pemukiman warga pun terlihat menyebar, kadang ketemu rumah warga, setelah  masuk hutan rumah warga tidak dijumpai lagi. Suhu cuaca pun sering berganti-ganti, kadang hangat kadang dingin dan itu menambah betapa serunya perjalanan ke nagari yang memiliki 12 jorong itu.

Meskipun begitu, kata orang-orang yang ditemui bilang jika pergi ke Maek untuk selalu berhati-hati karena sering terjadi kecelakaan lalu lintas di penurunan yang tajam. Oleh karena itu, sebelum pergi selalu mengusahakan kondisi kendaraan baik motor dan mobil dalam keadaan yang baik.

Ketika sudah mendekati nagari Maek, sebelum menghadapi dua penurunan yang cukup menukik kami berhenti di sebuah warung makan sebelah kiri jalan. Tempat makan itu dominan terbuat dari papan kayu, yang diisi ada tiga gazebo untuk santai, ada meja luar yang di atasnya diisi beberapa cemilan yang tergantung, lalu di dekat pintu masuk terdapat talase kaca untuk menaruh lauk pauk yang akan dijual.

“Dari mana nak?” kata ibu penjaga warung

“Dari Payakumbuh buk mau ke daerah Ronah,” ucap rekan perjalanan saya

Di pemberhentian pertama itulah kami melepas penat sebentar dan mendinginkan mesin motor, sekaligus sambil bercengkrama dengan penjaga warung yang sedang membuatkan kami dua cangkir kopi susu hangat. Di warung itu tak hanya ada kami berdua, pengendara lainnya juga ikut menikmati suasana menjelang sore yang tidak terlalu panas itu.

Seberes membuang penat, kami melanjutkan perjalanan yang jaraknya tidak terlalu jauh. Pemandangan yang dilewati masih sama seperti di awal, hutan dan pohon-pohon yang besar mengelilingi jalan. Saat itu pun rekan perjalanan saya menyeletuk.

“Kalau udah nampak Bukik Posuak dari kejauhan berarti lokasi yang mau kita tuju udah dekat nih,” katanya

Mendengarnya berbicara seperti itu, saya langsung mencari di mana keberadaan Bukik Posuak tersebut. Alhasil saya menemukannya dari posisi kendaraan melaju, saat itu saya terkagum-kagum melihatnya, bagaimana bisa ada Bukit yang tinggi kemudian ada tebing sebelahnya dan di tengah-tengahnya bolong.

Semakin kami melaju, tepat pukul 15.05 WIB kami memasuki daerah Ronah yang jika disorot dari angle kamera drone akan terlihat jalur jalannya yang lurus. Saat itulah semakin jelas Bukik Posuak yang menjadi salah satu ikon dari Nagari Maek tersebut.

Akhirnya kami sampai di rumah salah satu masyarakat yang tinggal di Maek, Armidalis. Beliau salah satu dubalang dalam pasukuan yang cukup banyak mengetahui Ttradisi, budaya, ataupun cagar budaya yang menjadi bagian dari peradaban yang ada di Maek. namun ketika kami tiba di sana orang yang ditunggu sedang mengurusi sesuatu hal sehingga kami menunggu sekitar 15 menit di depan kedai hariannya.

“Udah lihat Bukik Posuak itu kan?” kata Marnis, istri abak Armidalis

“Udah buk, kami lihat dari jauh saja,” ucap saya

Sembari menunggu suaminya pulang, Marnis menceritakan sedikit bagaimana dulunya di masa-masa sekolah pernah menaiki Bukik Posuak yang terletak di jorong Sopan Tanah dengan lebar dan tinggi lebih kurang 30 M dan 40 M. Baginya Bukik Posuak memiliki  keunikan dan cerita melegenda yang menarik untuk didengar oleh pendatang.

“Kalau udah nyampe ke atas itu udara sejuk sekali, yang kita lihat lebih luas lagi pemandangannya, lubang yang bolong itu dari bawah memang kecil tapi kalau sudah di Bukitnya nampak besar,” katanya.

Konon, berdasarkan cerita turun temurun yang tersebar di masyarakat Maek, Bukit tersebut bisa bolong tengahnya dikarenakan zaman dahulu seorang raja bernama Bagindo Ali yang gemar berburu pergi ke hutan untuk memanah seekor rusa.

Namun dari hari pertama belum mendapati santapan panahnya, hingga hari ketujuh ia berhasil menancapkan panahnya tepat di kepala rusa incarannya, namun karena sudah termakan kekesalan sejak awal raja pun memenggal, mencincang rusa tersebut.

Tak tanggung-tanggung ia juga melemparkan paha rusa dengan tenaganya ke langit, karena kesaktiannya saat itu paha rusa tersebut membentur dan menghantam bukit hingga bolong. Bukit itulah yang dinamakan hingga sekarang Bukik Posuak yang dalam bahasa Indonesianya posuak berarti bolong.

Singkat cerita, Armidalis tiba di kedai hariannya, dengan menggunakan celana pendek dan kaos santai ia duduk di depan meja cemilan dan menjelaskan apa-apa yang diketahui mengenai peradaban kuno yang ada di Maek ini.

Menurutnya terkait tradisi yang ada di Nagari Maek, mulai dari sajian kuliner yang menjadi menu khasnya ialah pongek maek. Makanan ini biasanya disajikan pada moment-momet tertentu seperti acara adat. Pongek Maek identik berbahan dasar ikan gurame yang di masak dengan beragam bumbu rempah yang disajikan dengan rasa pedas dan gurih.

“Kalau makanan tradisinya di Maek yang terkenal itu pongeknya, kemudian untuk keseniannya merata semuanya contohnya talempong, saluang, gambus, rabab itu kan udah jadi tradisi di minang,” ujarnya.

Tak hanya itu, ia juga menyebutkan selain Bukik Posuak juga menjadi bagian dari peradaban kuno sejak dahulu kala, situs terkenal dengan sebutan Desa Seribu Menhir yang disematkan kepada  nagari Maek juga menjadi bagian dari peradaban kuno tersebut. Sekitar 1200 Menhir yang sudah di SK-kan oleh kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, selain itu masih banyak yang belum terdata.

Melansir catatan yang ada di media sosial, Menhir Maek adalah salah satu situs bersejarah yang dijadikan tempat wisata serta objek penelitian arkeologis Indonesia dan mancanegara. Umur menhir berkisar 2000-6000 SM. Dari keseluruhan bentuk dan relief yang ada pada menhir menghadap kearah Gunung Sago.

Di Nagari Maek terdapat komplek maek yang berisi 13 situs megalitik diantaranya Situs Menhir Ronah I, Situs Menhir Ronah II, Situs Menhir Ronah III, Situs Padang Ilalang (Bukik Domo I), Situs Menhir Bukik Domo II, Situs Menhir Bukik Domo III, Situs Menhir Kayu Kaciak, Situs Menhir Kampung I, Situs Menhir Kampung II, Situs Menhir Ampang Gadang I, Situs Bakal Menhir Ampang Gadang, Situs Menhir Balai-Balai Batu (Koto Gadang), dan Menhir Bawah Parit (Koto Tinggi).

Menhir-menhir tersebut diartikan pemaknaannya sebagai tanda makam, tanda penghormatan, dan tanda kepercayaan animisme dan dinamisme. Saat datang ke area menhir, para pendatang akan langsung takjub melihat hamparan tanah yang diisi dengan batu-batu menhir yang bentuk dan motif ukurannya berbeda-beda.

Semua menhir menancap ke dalam tanah, ada yang berdiri tegak yang tingginya hampir setinggi orang dewasa, ada yang rebahan memanjang berbentuk persegi panjang, dan ada yang melengkung. Semua menhir itu pun ukurannya tidaklah sama, ada yang tergolong besar dan kecil.

“Situs menhir itu sudah ada sejak zaman purbakala, pasti kapan mulanya saya kurang tahu. Tapi biasanya yang menonjol dari maek itu menhirnya, Kalau ada yang nanya tentang Maek orang akan ingatnya menhir” sebut Armidalis.

Sambil membenarkan posisi kacamatanya, Armidalis juga mengatakan kepada kami jika peradaban-peradaban yang berkaitan dengan tradisi, budaya, dan situs tersebut hingga hari ini masih tetap dilestarikan dan dijaga oleh masyarakat dan pemerintah daerah setempat. Jika pendatang atau para wisatawan bingung mencari keberadaan menhir yang ada di Maek, warga lokal tak sungkan untuk menunjukkan jalan menuju lokasi yang dicari.

“Selalu dilestarikan, pembaruannya gak ada tapi pemugarannya yang ada seperti dibersihkan batu-batunya karena banyak sekali pengunjung yang datang bahkan dari luar negeri. Kalau ke Maek kebanyakan dari turis luar itu ya nyari menhir kedua Bukik Posuak itu,” ujarnya.

Setelah selesai menyimak cerita Armidalis dan istrinya, tepat pukul 17.17 WIB kami memutuskan untuk pulang kembali ke Payakumbuh. Dalam perjalanan pulang itu, cuaca sudah mendung, belum sampai setengah perjalanan mengendarai motor, hujan mengguyur nagari Maek.

Saat itu suhu udaranya juga naik, dingin dan lembab. Dengan memakai mantel dan penuh kehati-hatian kami menerebos hujan yang sangat deras itu. Beberapa warga sekitar masih lalu lalang tanpa mantel dan menyapa kami.

Maek mempunyai pesonanya tersendiri untuk menunjukkan kepada manusia betapa banyaknya keindahan, keunikan, dan misteri peradaban di dalamnya. Meski nagari Maek memiliki luas wilayah 122,06 km2 atau 41,49 persen dari luas wilayah Kecamatan Bukik Barisan dengan jumlah penduduknya yang hanya 9.907 jiwa lebih. Namun, cukup banyak pendatang baik lokal maupun luar negeri tertarik untuk melihat nagari yang memiliki sejarah purbakala seribu menhir itu.

Ada magnet tersendiri bagi para traveller atau pendatang untuk datang melihat Nagari Maek. Walaupun banyak yang bilang jika pergi ke Maek durasi perjalananya cukup jauh dari Kota Payakumbuh tapi orang-orang masih terus berdatangan ke nagari tersebut. Hal itu dikarenakan banyaknya peradaban-peradaban dalam lingkup budaya, sejarah, misteri, kuliner, dan teknologi yang bisa digali dari Maek. Inginnya masyarakat baik yang datang dari luar ataupun di dalam nagari bisa melihat semakin pesatnya perkembangan peradaban di Maek ini.

Hingga saat ini pun nagari Maek masih menyimpan misteri peradaban yang belum terpecahkan, sesuatu yang belum diungkap ke khalayak, banyak orang-orang bahkan tokoh masyarakat menilai Maek mempunyai peradaban kuno yang lebih besar dari sebelumnya, sehingga perlu sekali adanya perhatian khusus kepada nagari Maek agar di masa depan Maek masih tetap berkembang dan tumbuh untuk memperlihatkan peradaban kunonya yang terus dicari dan disegani masyarakat.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *