Categories Warta

Mengintip Budidaya ‘Maggotda’ di Payakumbuh, Idenya Berawal dari Obrolan di Tongkrongan

SudutPayakumbuh – Kecil, mungil, bergerak melata, memiliki kulit berwarna putih dan hitam, jika dipegang oleh pemula akan terasa geli di tangan, inilah gambaran maggot di Maggotda.

Hewan ini digunakan para peternak untuk pengganti asupan makan ternak, adanya di bumi karena diolah dari sampah organik yang didapatkan dari pasar.

Serangga yang satu ini orang-orang mengenalnya dengan sebutan maggot atau sejenis belatung, pemilik nama latin Hermetia Illucens termasuk dalam Ordo Diptera, familikeluarga Dipteran Stratiomyidae.

Dalam perkembangannya di dunia pakan ternak, maggot menjadi salah satu alternatif pengganti makanan yang sedang gencar dicari oleh para peternak untuk memenuhi kebutuhan hewan ternaknya.

Itulah mengapa asosiasi tujuh anak muda asal Kota Payakumbuh dari berbagai lulusan sarjana bergerak membudidayakan maggot.

Berawal dari sebuah obrolan di tongkrongan pada Mei 2021, dalam pertemuan itu mereka tersadar arti sebuah pertemuan mengapa sering ngumpul-ngumpul tapi tidak ada faedah yang didapatkan, saat itulah langsung tercetus statement dari seorang teman lulusan Universitas Gajah Mada yang mengatakan bagaimana kalau kita budidaya maggot saja?

Menurutnya maggot modalnya hanya sampah, selain bermodalkan sampah nanti akan mengolah sampah jadi secara finansial dapat keuntungan dengan gratis karena sampah.

Kemudian juga bisa membantu lingkungan dengan adanya maggot. Selain itu maggot adalah pakan alternatif bagi peternak, jadi secara tidak langsung nantinya membantu peternak untuk menyediakan pakan alternatif sebagai pengganti konsentrat.

Dengan mengandalkan 3 M yakni mengolah sampah dan menjaga lingkungan, menyediakan pakan ternak, dan membuka lapangan pekerjaan lahir yang namanya “Maggotda.”

Ketua Asosiasi Pembudidaya Millenial Maggot BSF, Ade Muhara mengatakan nama Maggotda datang dari plesetan “menggoda” yang kesannya sebuah usaha atau satu bisnis yang menggoda.

“Dari Mei itu kami mencoba dan di September kami membuat prototype nya pada bekas kandang sapi belakang SMK 3 Payakumbuh,” kata Ade saat ditemui sudutpayakumbuh.com pada Selasa, 13 September 2022.

Ade mengatakan para pekerja di Maggotda dari 7 orang ini ada di tiga lokasi, seperti Hanif dan Rido beda lokasi, ada yang di Payobadar dan Taram.

“Jadi kami yang di sini ada 5 orang, yang aktif sekarang dari lima orang ini ada tiga orang, yang dua orang lagi memang secara kayak management untuk di kandang ini,” katanya.

Founder Maggotda, (kanan ke kiri ) Randu Jevvanu, Ade Muhara, Fadhilloh A.K, M Amzarullah, Diki Wahyudi/Foto: Diki

Lebih lanjut dalam pembuatan prototype Ade dan anggota lainnya belajar sendiri dengan bantuan youtube.

Melihat seperti apa awal mulanya cara membudidayakan maggot, apakah saat pengerjaan akan sesuai dengan yang diajarkan dari video yang ditonton tersebut.

“Karena sesuai yang kami pelajari memang banyak kendala-kendala yang kami alami dan itu tidak dijelaskan di youtube, makanya kami belajar lebih kurang enam bulan,“ ujarnya.

Setelah belajar dari youtube, Ade dan kawan-kawan mencari info mengenai peternak maggot di Kabupaten Lima Puluh Kota.

“Alhamdulilllah bisa kami temui, ada Indolarva di Mungka, belajar dari Indolarva, dari sana kami belajar bagaimana caranya meniru gerakan dari mereka,” ujarnya.

Hasil dari belajar dan kesiapan selama enam bulan tersebut, tepat di bulan Maret 2022 Ade dan kawan-kawan melakukan pindah lokasi produksi yang sekarang bertempat di Jalan Rangkayo Rasuna Said, Tiakar, Balai Nan Tuo atau lebih tepatnya di belakang Toko Ozil Mainan.

Kandang produksi yang terbuat dari papan dan semen itu sudah dilengkapi 14 biopond.

Dikutip dari dinpertanpangan.demakkab.go.id biopond atau reaktor adalah tempat larva maggot akan menghabiskan sampah organik.

Biopond bisa berupa lantai yang memiliki sistem drainase dengan mengalirkan cairan yang dihasilkan oleh maggot ke lokasi yang lain untuk dimanfaatkan cairannya.

Aktivitas dalam reaktor hanya memberi media pakan kepada maggot setiap hari.

Area 14 biopond di Kandang Maggotda, Payakumbuh (Foto: Laila Lubis)

Menurut Ade untuk target produksi dari 14 biopond bisa memproduksi setidaknya 25 kilogram hingga 30 kilogram plus maggot perhari.

“Alhamdulillah memang sekarang produksi kami sudah tercapai bahkan permintaan sekarang ini untuk Kota Payakumbuh, untuk satu peternak itik di daerah Tarok itu permintaannya lebih kurang 150 kilogram perhari, itu untuk satu peternak saja baru belum lagi kami pergi ke peternak yang lain,” katanya.

Kendala yang Dihadapi Dalam Budi Daya Maggotda

Meski banyak permintaan dari konsumen yang berdatangan, namun dalam segi penyediaan Ade dan kawan-kawan memiliki banyak kendala di awal usaha yang baru berjalan setahun ini.

Ade menyebutkan kendala yang sedang dialami adalah kekurangan biopond dan mesin pengolahan.

“Mesin pengolahan kami kapasitasnya cuma 100-150 kilometer/jam sedangkan sampah yang kalo memang kita tingkatkan produksi untuk menjadi 150 kilogram kami butuh sampah lebih kurang 1,5 ton perhari sedangkan sekarang kami masih mengolah lebih kurang 400 kilogram sampah perharinya, jadi memang itu kendala kami saat ini,” katanya.

Dengan adanya kendala seperti itu, Ade beserta anggota lainnya melakukan beberapa pergerakan untuk bertemu dengan pejabat kota dan instansi lainnya membahas tentang perkembangan budidaya maggot dan alternatif pengolahan sampah organik ke depannya seperti adanya kunjungan dari Dinas Lingkungan hidup (DLH) Kota Payakumbuh, pertemuan dan diskusi bersama Wakil Walikota Payakumbuh, Erwin Yunaz, kunjungan dari Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Barat didampingi DLH Kota Payakumbuh, dan kunjungan dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) Kota Payakumbuh.

“Makanya kami kemarin mengajukan proposal kepada Bapak Supardi mengenai dana bagaimana caranya kami bisa mengolah sampah di Payakumbuh yang awalnya tidak berguna kami pergunakan untuk maggot dengan tujuan untuk membantu peternak,” katanya.

Ade mengatakan bahwa visi dari usahanya dan kawan-kawan adalah bagaimana caranya menghubungkan sampah yang tidak berguna dengan peternak.

Menurutnya di Payakumbuh ini banyak sekali peternak itik telur, peternak ayam, dan peternak lele dan masing-masing memiliki kendala di pakan ternak.

“60%-70% pakan itu memang menjadi faktor utama untung atau tidaknya para peternak. Maka dari itu kami hubungkan, dengan adanya maggot ini banyak sih yang bisa kami tingkatkan tidak hanya plus maggot saja, banyak pengolahan-pengolahan lainnya, seperti maggot kering itu peminatnya sudah ada sakarang, harganya kalau plus maggot yang ini Rp7000 perkilo, maggot kering itu Rp120 ribu perkilo, harganya cukup beda,” ujarnya.

Salah satu maggot kering di Maggotda. (Foto: Laila Lubis)

Selain itu, bagi peternak plus maggot bisa dijadikan sebagai pengganti konsentrat, seperti tepung ikan, kemudian yang mengandung protein.

Kelebihan plus maggot harganya Rp7000 sedangkan tepung ikan konsentrat untuk ayam bertelur itu berkisar antara Rp11.000-Rp12.500 perkilo.

“Jadi apabila dengan adanya maggot ini tentu petani terbantu, karna selisih harganya cukup jomplang lebih kurang Rp3000-Rp4000, “ katanya.

Ade dan kawan-kawan berharap nantinya jika target di 2023 produksi mencapai minimal 200 kilogram fresh kemudian pengolahannya lebih kurang menghasilkan 50 kilogram maggot kering tiap harinya.

”Memang itu target kami nantinya di 2023. Tentu kami tidak bisa bekerja sendiri, kami butuh support dari pemerintah dan investor, memang nanti itu akan kami kembangkan,” harapnya.

Bagi Ade harapan terbesarnya bersama kawan-kawan yang sudah sejak awal ikut merintis usaha ini ingin secepatnya maggot berkembang, berdasarkan penuturannya kepada sudutpayakumbuh.com untuk bisa berkembang dibutuhkan pendanaan, baik itu bantuan dari pemerintah berupa peralatan dan alat-alat penunjang.

Selain itu menurut Ade akan menggait investor untuk membuat bangunan yang lebih besar guna pengolahan sampah.

“Lokasinya itu memang kami sudah survey targetnya ada di dekat TPA, sebelum masuk ke TPA singgah dulu ke Maggotda, masuk ke Maggotda kita olah. Jadi sampah plastik dan kayu-kayu yang tidak bisa diolah oleh maggot baru masuk ke TPA,” ungkapnya.

Meski sudah melakukan survey tempat lokasi Ade menghimbau kepada masyarakat yang ingin membuang sampah ke TPA sebelum membuangnya untuk bisa memisahkan sampah plastik dan sampah organik.

“Setidaknya dengan adanya masyarakat yang memisahkan sampah organik dan non organik bisa lebih memudahkan para peternak seperti kami peternak maggot dan peternak lainnya dalam memilah sampah,”jelasnya.

Proses Budi Daya Maggotda

Ade menjelaskan bagaimana proses budi daya maggot yang sudah dikerjakan dalam kurun waktu satu tahun, menurutnya maggot mempunyai siklus dari telur kemudian menjadi baby maggot, kemudian berubah menjadi maggot dewasa, setelah maggot dewasa itu baru bisa melakukan panen.

“Yang namanya fresh maggot jadi prepupa dan pupa, perbedaannya dengan prepupa dengan maggot dewasa itu adalah warnanya. Kalau maggot dewasa itu warnanya masih putih kekuningan, sedangkan prepupa dan pupa itu warnanya sudah kehitaman,” kata Ade.

Lebih lanjut dikatakannya bahwa kemudian dari pupa ibaratnya kalau kupi-kupu itu kepompong, kepompong keluar jadi lalat Black Soldier Fly (BSF) jadi lalat itu bertelur kembali, ada satu siklus.

Kandang lalat BSF, tempat maggot dewasa menjadi lalat dan bertelur di dalam sela-sela kayu. (Foto: Laila Lubis)

Menurutnya untuk satu siklus butuh 44 hari dan untuk menghasilkan fresh maggot butuh dari telur sampai menjadi maggot dewasa itu lebih kurang 18 hari. Sehingga setiap 18 hari sudah bisa melakukan panen plus maggot.

Ade mengatakan bahwa Maggot memakan semua sampah organik, sampah organik tersebut diberikan ke maggot lebih kurang satu hari langsung habis.

“Maggot itu rakus, bisa mengolah semua sampah yang penting organik. Di dalam box ada lebih kurang 400 kilogram sampah jadi untuk 4 kali pemberian sudah habis box itu,” katanya.

Selaras dengan Diki Wahyudi, salah satu anggota yang merintis usaha ini ia mengatakan untuk mendapatkan sampah organik Diki dan kawan-kawan lainnya memungut serta memilah sampah organik yang berada di dekat Gerbang Pasar Ibuah Kota Payakumbuh.

”Biasanya kami mungut di area tumpukan sampah sebelum diangkut sama truk sampah,” katanya.

Kegiatan mengumpulkan sampah organik di Pasar Ibuah Payakumbuh. (Foto: Diki)

DLH Kota Payakumbuh Jembatani Kendala Budi Daya Maggotda Tiakar Lewat Dana Pokir DPRD Provinsi Sumatera Barat Tahun 2023

Desmon Korina, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Payakumbuh yang baru saja dilantik pada Juli 2022 yang lalu mengatakan salah satu usaha dalam pengurangan sampah adalah dengan pembibitan maggot.

Tentunya Payakumbuh sudah punya satu yang dikelola oleh satu kelompok swadaya masyarakat di kelurahan Tiakar.

“Kalau enggak salah itu mahasiswa lulusan politani, kebetulan kami juga dari DLH sedang melakukan pemantauan ke lapangan dan pihaknya sudah menjajaki bagaimana pengembangan maggot dan peningkatan produksi maggot di Payakumbuh yang dikelola oleh kelompok swadaya masyarakat ini,” katanya saat ditemui sudutpayakumbuh.com di ruangannya pada Rabu, 14 September 2022.

Menurut Desmon sesuai tugas dan fungsinya Dinas Lingkungan Hidup melakukan pembinaan seperti maggot ini istilahnya kegiatannya juga berkaitan dengan Dinas Pertanian.

“Berdasarkan hasil diskusi kita kemaren dengan adik-adik yang mengelola maggot di Tiakar itu memang mereka terbentur di masalah peralatan dan pembiayaan untuk peningkatan produksi maggotnya, kita sudah coba menjajaki kegiatan tersebut,” ujarnya.

Lebih lanjut Desmon menjelaskan karena 2022 sudah hampir berakhir, terkait dengan pembinaan apa yang bisa dilakukan bantuan dalam sifat sarana prasarana maupun pendanaan di 2022 memang belum ada.

“Tetapi Alhamdulillah kita sudah berbicara kepada Dinas Provinsi Sumatra Barat. Jadi nanti insyaallah akan kita coba menganggarkan dan mengusulkan untuk hibah memalui kegiatan porkir DPRD Provinsi Sumbar melalui anggaran DLH Prov Sumbar, Jadi nanti usulan pembiayaannya itu kita ajukan melalui APBD Provinsi Sumbar untuk tahun 2023, ini nanti akan kita dampingi dan bantu, sekarang itu sedang dalam pembahasan,” katanya.

“Saya sudah bicara dengan ibuk Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi kemudian dengan bapak Ketua DPRD Provinsi Sumbar, Pak Supardi langsung. Rencananya kalau misalnya proposal yang diajukan adik-adik kita itu bisa menarik perhatian anggota dewan, kemungkinan mereka akan melakukan kunjungan lapangan ke Tiakar, melihat bagaimana sih prospek pengembangan maggot, apakah bentuk bantuan yang akan dikasih tu nantinya seperti apa,” tambahnya.

Senada dengan itu, Yuferdi selaku Kepala Bidang (Kabid) Penataan Dinas Lingkungan Hidup Kota Payakumbuh mengatakan terkait sarana prasarana memang ada keterbatasan sehingga ada beberapa sarana prasaran yang belum bisa untuk mendukung budidaya maggot tersebut.

“Kita sebagai Dinas Lingkungan Hidup menjembatani kekurangan tersebut melalui dana pokir DPRD Provinsi Sumbar, ini yang kita upayakan supaya adik-adik dari pegiat maggot itu dapat melakukan kegiatan sebagaimana mestinya,” ujarnya saat ditemui sudutpayakumbuh.com di kantornya pada Rabu, 14 September 2022.

“Artinya kita sampaikan proposalnya ke DLH Povinsi dan DLH Provinsi tersebut akan meneruskan ke Staf Ahli dari Pak Supardi untuk dimasukkan ke dalam aplikasi perencanaan di 2023, proposal sudah dibuat sedang proses berlangsung, jadi kita harapkan dengan porkir ini bisa membantu adik-adik memperdalam budidaya maggotnya, Insyaallah 2023,” katanya.

Yuferdi berharap dengan adanya budi daya maggot ini akan mengurangi timbunan sampah di Payakumbuh yang artinya sampah rumah tangga yang organik tidak langsung dibawa ke TPA dan itu akan mengurangi beban kalau seandainya budi daya maggot berjalan dengan semestinya.

“Maggot inikan dikelola oleh sekolompok anak muda lulusan perguruan tinggi, mereka juga aktif dan kita sangat mengapresiasi semoga sanggup menciptakan lapangan kerja nantinya,” ujarnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *