Budaya barat dan modernisasi secara perlahan mulai menggerus tradisi dan budaya bangsa ini. Salah satu yang menjadi incarannya adalah generasi muda sebagai agen perubahan dan penerus bangsa ini.
Kebanyakan generasi muda saat ini lebih cenderung bergaya kebarat-baratan dan memilih budaya tersebut sebagai gaya hidup. Namun tidak bagi anak muda bernama lengkap Hendri, kelahiran Kota Payakumbuh, 17 Desember 1979 ini.
Saat ditemui di rumahnya, Hendri yang sedang melatih tari ini terlihat penuh semangat dalam memainkan setiap gerakkan yang praktikkannya kepada anak didiknya yang masih duduk di bangku SMA. Kepad Padang Ekspres ia mengaku kecintaannya terhadap seni budaya khususnya budaya lokal yang semakin tergerus zaman dan hampir punah ini, Berawal dari mengikuti Pemilihan Uda Uni tahun 2003.
Sebagai perwakilan dari Kabupaten Limapuluh Kota yaitu menjadi Uda, ia akhirnya berangkat ke tingkat propinsi dengan mengikuti pemilihan Uda Uni Sumbar. Namun setelah mengikuti pemilihan Uda Uni Sumbar ini, ia kemudian tertarik ke bidang pariwisata dan memilih jalur sebagai pemandu wisata atau guide yang bertugas mempromosikan dan memandu turis yang umumnya berasal dari Negara lain.
“Setelah mengikuti Pemilihan Uda Uni, saya berpikir untuk mengembangkan seni tradisi khususnya budaya lokal. Sebab setelah berkecimpung di dunia seni dan mempelajari beberapa kebudayaan yang ada di Sumbar merasa terpanggil untuk bisa melestarikannya terutama di daerah saya sendiri,” ujar Hendri yang akrab disapa Mamak ini.
Sebagai generasi muda ia merasa tergerak untuk mengembangkan seni budaya khususnya di daerah dimana ia melihat masih banyak potensi daerah yang belum tergali dan dimanfaatkan dengan baik. Sehingga tahun 2009 ia pun mulai aktif terjun ke dunia seni dan menciptakan beberapa gerakan tari yang diambil dari potensi daerah.
Setelah melewati proses yang cukup panjang dan penuh liku-liku, Mamak yang tergabung dalam Ikatan Uda Uni Sumbar ini pun terus mencoba untuk berkarya dan mengembangkan ilmu dalam berbagai kesenian budaya. Salah satunya dengan mempelajari petatah petitih Minangkabau dan sejarah tentang Minangkabau yang ada di kampung halamannya.
Hingga masih di tahun yang sama, Mamak yang berlamat di Paritrantang No 116/3 Kecamatan Payakumbuh Barat, Kota Payakumbuh meraih penghargaan sebagai penampil terbaik pada Pekan Budaya Sumbar dalam lomba Ciloteh Lapau. Hal ini membuat lulusan Sekolah Menengah Kejuruan ini semakin yakin akan kemampuannya dalam dunia seni budaya yang saat itu masih belum terlalu mendapatkan perhatian lebih dari berbagai kalangan.
Akhirnya dengan keseriusan dan keyakinan yang dimilikinya, Mamak pun mendirikan sebuah sanggar seni yang bergerak dibidang seni budaya di Kota Payakumbuh. Hal ini merupakan wujud kepedulian dan keseriusannya dalam seni budaya dan sanggar tersebut diberi nama Sanggar Pituah Bundo yang berdiri pada 17 Desember 2009.
“Dengan adanya sanggar ini saya berharap nantinya saya dapat mengembangkan ilmu yang saya punya dan mengangkat kembali budaya-budaya lokal yang mulai terlupakan oleh masyarakat,” kata Hendri Mamak yang saat ini juga mengajar seni budaya di SDLB Negeri 04, SMPLB YDBI, dan SMALB Tarantang, Kabupaten Limapuluh Kota.
Setelah berdirinya Sanggar Pituah Bundo sebagai cikal bakal mengembangkan seni budaya di Luak Limopuluah, Handri yang dikenal dekat dengan anak-anak SMA di Payakumbuh dan Kabupaten Limapuluh Kota ini pun mulai menocba menciptakan sebuah tari. Ia mengaku terinspirasi oleh potensi yang ada baik itu sejarah, gaya hidup, kebiasaan masyarakat, hingga budaya lokal yang hampir punah untuk dikembangkan dan dituangkan dalam gerakan tari-tarian.
Setelah mendalami dan mempelajari potensi yang ada, lahirlah sebuah tari yang diangkat dari salah satu sejarah Indonesia yang terjadi di Kota Payakumbuh. Sebuah peristiwa yang terjadi di jembatan yang membentang di atas Sungai Batang Agam dan kini dikenal dengan sebutan Jembatan Ratapan Ibu menjadi salah satu master piece dari Hendri Mamak.
Tari ini diberinya nama dengan Tari Galak Manjadi Ratok atau tari yang mengisahkan tentang suatu keadaan bahagia berubah menjadi keadaan sedih atau ratapan. Tari ini menurutnya sangat bernilai sekali baginya dalam mempelajari hingga melahirkan gerakan-gerakan dan menjadi sebuah tarian yang bisa dimainkan oleh penari yaitu generasi muda saat ini.
Bbeberapa tari-tarian selain Tari Galak Jadi Ratokyang juga diciptakan oleh Hendri Mamak adalah, Tari Piriang Babako, Tari Galombang Payokumbuah, dan Tari Kontemporer Tangkelek Manghalau Risau. Ia menyebutkan semua tari-tarian tersebut merupakan hasil dari kajian dan potensi yang ada di lingkungan sekitar.
“Untuk Tari Galak Manjadi Ratok ini merupakan sebuah tarian yang diangkat dari sejarah Jembatan Ratapan Ibu. Dimana setelah merdeka, bangsa Indonesia pun mulai bergembira dan merayakan kemenangan. Tapi ternyata tiba-tiba masih ada perlawanan dari penjajah yang terjadi di Jembatan Ratapan Ibu. Sehingga dalam galak atau rasa bahagia yang tadinya tercipta berubah menjadi ratok atau ratapan kesedihan,” ujar pemilik Sanggar Pituah Bundo yang berhasil meraih Juara I Tari Galombang antar sanggar dan SMA se-Kota Payakumbuh ini.
Di era saat ini, salah satu hal yang mengakibatkan budaya lokal menjadi terpinggirkan dan kurang diminati masyarakat khususnya generasi muda disebabkan sudah mulai kurangnya apresiasi seni berupa penampilan atau pertunjukkan yang dilakukan terhadap budaya tersebut. Sehingga anak muda atau generasi saat ini cenderung lebih sering menonton dan menyaksikan pertunjukkan modern yang sangat banyak bisa dinikmati baik itu di televisi maupun pertunjukkan langsung.
“Kurangnya atraksi budaya dan penampilan seni tradisi menjadi salah satu penyebab mulai pudarnya minat dan keinginan generasi muda untuk menonton dan mempelajarinya. Akibatnya generasi muda saat ini tidak lagi mengenal budaya-budaya lokal terdahulu dan lebih memilih budaya barat sebagai budaya yang lagi update saat ini,” katanya singkat.
Menurutnya, potensi daerah khususnya dalam seni budaya yang ada di daerah-daerah sudah hampir punah dan jarang terjadi penampilan kebudayaan yang menampilkan kearifan lokal tersebut. Hal inilah yang membuat dirinya terinspirasi dalam mengangkat kearifan lokal yang ada di Kabupaten Limapuluh Kota dan Kota Payakumbuh ini.
Tidak hanya menciptakan tari dan mengembangkan seni budaya daerah kepada masyarakat, ia pun juga dengan serius dan tekun mengajarkan tari itu sendiri kepada pelajar di Kabupaten Limapuluh Kota dan Payakumbuh. Hal ini pun ternyata setelah digelutinya dan dilakukannya juga berbuah hasil dengan lahirnya banyak prestasi yang diraih baik itu tingkat propinsi maupun nasional.
“Alhamdulillah kerja keras saya sejak tahun 2009 atau sudah berlangsung selama enam tahun ini berbuah hasil dengan menorehkan prestasi untuk anak didik baik itu tingkat kota, provinsi maupun nasional. Salah satunya yaitu membawa SMPN 2 Payakumbuh Juara II FLS2N 2010 dalam penampilan Tari Galak Jadi Ratok dan SMAN 4 Payakumbuh Juara I Tari Rampak Si Katuntuang dalam Pekan Seni Kota Batiah,” ujar Mamak.
Kemudian baru-baru ini, ia pun juga berhasil membawa putra putri terbaik Payakumbuh dan Kabupaten Limapuluh Kota ke tingkat Sumbar dengan menjadi juara I dalam lomba berbahasa minang dan juara I cerita minang serta juara favorit berbalas pantun tahun 2015. Saat ini ia mengungkapkan juga baru selesai mempersiapkan sebuah tari untuk pelajar MTsN Kota Payakumbuh yang akan mengikuti Gema Madrasah.
“Dalam tari kali ini saya mengangkat sebuah tari yang berceritakan tentang Sabiah atau Tasbih yang biasa digunakan untuk berzikir usai salat oleh kaum muslimin. Dalam gerakannya, seorang pemuda yang galau dan tidak tentu arah kemudian akhirnya mendekatkan diri kepada Tuhan yaitu dengan melakukan zikir atau bertasbih. Hingga pada akhirnya pemuda ini pun mulai sadar dan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan,” katanya memberikan bocoran tentang tari terbarunya yang akan ditampilkan oleh kontingen dari Kementerian Agama Kota Payakumbuh ini.
Sebagai pelaku seni dan generasi muda Luak Limopuluah ia melihat kondisi tradisi dan seni budaya saat ini sedang mengalami kemenudruan dan semakin tergerus zaman. Untuk itu ia berharap semua elemen masyarakat khususnya yang memiliki budaya tersebut untuk kembali sadar dan lebih memperhatikan nasib budaya dan kearifan lokal yang ada.
“Untuk membangun itu semua yang dibutuhkan saat ini adalah dukungan dan kepedulian dari seluruh stakeholder baik itu pemerinta, masyarakat, khususnya kepada generasi muda. Semoga akan ada perhatian dari semua kalangan akan nasib kearifan budaya lokal kita ini sehingga tidak punah,” kata Mamak yang juga pernah mengangkat tentang sejarah perjuangan di Bukik Sibaluik (Balaikota Payakumbuh sekarang) ini
Ia mengimbau kepada pemilik adat dan tradisi yang ada ini untuk juga peduli meskipun seandainya tidak ada dukungan dari pemerintah sekali pun. Kemudian tradisi yang sudah ada dan banyak ini agar kembali diangkat ke permukaan dan dikembangkan lewat sebuah pertunjukkan yang rutin. (*)