“Hari ini kau berdamai dengan dirimu sendiri, kau maafkan semua salahmu ampuni dirimu, hari ini ajak lagi dirimu bicara mesra, berjujurlah pada dirimu kau bisa percaya.”
Kalimat pertama pembuka lagu Tulus yang berjudul Diri selalu menjadi semangat saat diri sendiri sedang tidak baik-baik saja. Bersama tulisan ini saya ingin kalian semua tahu, bahwa hanya ada ‘aku’ di dunia ini. Siapa itu ‘aku’?
Aku merupakan diri sendiri yang kita punya. Diri yang menjadi tempat pertama kali sadar bahwa sedih, marah, kecewa, bahagia, kesal, lelah dan senang itu tidak apa-apa untuk dirasakan, diri yang tahu persis kapan waktunya istirahat dan melanjutkan hidup saat rutinitas terlalu terburu-buru mengejar apa yang dia mau, diri yang patut dijaga, dicintai dan dihormati kehadirannya di dunia, diri yang sangat perlu diapresiasi melalui hal-hal kecil dan besar yang diterima selama menjalani kehidupan. Diri yang lebih tahu apa yang dibutuhkan, apa yang harus tinggalkan, dan apa yang harus dicari selama hidup.
Mempelajari diri sendiri haruslah dilakukan setiap hari, karena kita dilahirkan untuk belajar sesuatu yang bermanfaat, meski tidak semua hari berjalan dengan baik, tapi akan selalu ada hal baik di setiap harinya.
Kita boleh menikmati hidup seperti yang kita inginkan, melakukan sesuatu yang menyenangkan perasaan, menganggap bahwa kesedihan bisa terusir dengan sendirinya karena kita tahu bahwa dibalik itu ada kebahagiaan yang menggantikan.
Baek Se Hee penulis buku I Want To Die But I Want To Eat Tteokpokki mengatakan jika hari ini merasa sedih, besok akan merasa bahagia. Lalu, tidak masalah jika hari ini merasa bahagia kemudian esok hari merasa sedih.
Hal yang terpenting adalah aku harus mencintai diriku sendiri. Lagi-lagi ‘aku’ di sini perihal mencintai diri sediri, kebanyakan orang mengucapkannya dengan kata self love. Mencintai diri sendiri lebih sulit daripada mencintai orang lain, sebelum menyayangi orang lain, terlebih dahulu sayangi diri sendiri.
Kita sering mendengarkan orang-orang di sekitar kita mengatakan kalimat itu, karena faktanya itu memang benar. Kita bisa berubah demi orang lain, kita bisa melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan inginnya kita hanya demi orang lain, sehingga kita sadar bahwa kita sudah kehilangan diri sendiri hanya karena orang lain.
Lantas, pernahkah kita bertanya kepada diri sendiri? Mengajaknya berbicara dua arah di depan cermin, menyapa serta menanyakan apakah dunianya baik-baik saja? Perasaan apa yang sedang dirasakan di satu hari ini?
Apakah ada kebahagiaan dan kesedihan yang menyelimuti? Setelah bertanya, kita memberikan penghargaan kepadanya kalau sudah hebat dan bertahan hidup di satu hari yang rasanya cukup sulit untuk dilewati. Seberes itu kita katakan kepadanya, mari istirahat dan melanjutkannya besok.
Mungkin dengan bertanya seperti itu, kita akan merasakan dampak yang luar biasa, bahwa kita tidak sendirian. Kita punya diri sendiri yang mendukung perjalanan berproses untuk menjadi manusia lebih baik setiap harinya.
Saat kita sudah mengenal diri sendiri sebegitu dalamnya, hidup rasanya tidak lagi tentang sendiri tapi bagaimana menghabiskan hidup bersama orang-orang yang kita cintai. Menikmati suasana yang lebih baik, lebih bahagia, dan penuh rasa syukur.
Pada akhirnya hanya ada ‘aku’ di dunia itu memberikan pelajaran bahwa segala sesuatu yang terjadi di dalam hidup, entah kabar membahagiakan atau menyedihkan, untuk mengatasinya diri sendirilah yang harus diutamakan.