Di balik senyum ramah dan sikap bersahaja seorang Soeharto, tersimpan senjata rahasia yang memungkinkan ia bertahan di kursi kekuasaan selama 32 tahun. Senjata ini bukan sembarangan, melainkan propaganda yang halus namun mematikan.
Siapa yang tak mengenal Soeharto? Presiden kedua Indonesia ini menjadi sosok sentral dalam sejarah panjang Orde Baru. Namun, di balik citra pemimpin yang kuat dan karismatik, tersembunyi strategi terselubung yang nyaris membuatnya menduduki kursi kepresidenan seumur hidup.
Soeharto memahami betul kekuatan media massa. Sebagaimana diungkapkan dalam jurnal “Propaganda Orde Baru 1966-1980” karya Dwi Wahyono Hadi (2019), ia memanfaatkan media, khususnya TVRI, untuk membentuk citra positif di mata masyarakat. Setiap pemberitaan tentang dirinya selalu menonjolkan sisi baik: prestasinya dilebih-lebihkan, posisinya sebagai presiden diagung-agungkan, hingga ia dipersepsikan sebagai pahlawan bangsa yang berjasa menyelamatkan negara dari bahaya PKI. Dalam narasi resmi, ia digambarkan sebagai “Bapak Pembangunan” yang bijaksana, seorang negarawan ulung, serta sosok yang merakyat. Bahkan, sempat muncul gagasan mencalonkan dirinya sebagai presiden seumur hidup.
Namun, kontrolnya atas media tidak berhenti pada TVRI. Semua media cetak diawasi ketat oleh Departemen Penerangan. Media yang terlalu kritis atau tidak sejalan dengan pemerintah segera diberangus. Tempo, Sinar Harapan, hingga Detik menjadi contoh media yang harus dihentikan karena dianggap “mengancam stabilitas nasional.” Dengan cara ini, ruang untuk kritik nyaris tertutup rapat.
Selain membangun citra positif, Soeharto juga mahir menjatuhkan lawan-lawannya melalui propaganda. Dalam bukunya “Opini Publik dan Propaganda”, Dr. Juariyah menjelaskan salah satu taktik favorit Soeharto, yakni “name calling”, yang mana ini merupakan maksud memberikan label buruk pada individu atau kelompok tertentu. Selama masa Orde Baru, PKI menjadi target utama. Mereka dicap sebagai “biang kerok,” “provokator,” hingga “pengkhianat bangsa.” Propaganda ini bahkan diperkuat dengan film “Pengkhianatan G30S/PKI”, yang diproduksi untuk menegaskan PKI sebagai dalang utama kekacauan nasional.
Film tersebut bukan sekadar hiburan, ia menjadi alat propaganda yang sangat efektif. Anak-anak sekolah diwajibkan menonton film ini, seolah-olah isinya adalah kebenaran mutlak. Sejarawan Asvi Warman Adam pernah menegaskan bahwa film ini melakukan banyak distorsi terhadap fakta sejarah. Senada dengan pandangan ini, akademisi komunikasi Budi Irawanto, dalam artikel yang ditulis Iswara N Raditya di tirto.id, mengkritisi bagaimana film ini mampu membungkam suara kritis sekaligus memperkukuh narasi Soeharto sebagai pahlawan bangsa.
Tak hanya PKI, tokoh-tokoh kritis lain seperti Pramoedya Ananta Toer juga menjadi korban propaganda. Gara-gara bukunya, “Bumi Manusia”, yang dianggap menyebarkan paham komunis, ia diberi label “anti-pembangunan” dan “pengkhianat.” Akibatnya, rakyat dicekam ketakutan. Budaya “asal bapak senang” (ABS) pun tumbuh subur. Orang lebih memilih diam daripada mempertaruhkan keselamatan atau karier mereka.
Keberhasilan propaganda ini juga didukung oleh militer, dengan program dwifungsi ABRI, militer tidak hanya berperan dalam bidang pertahanan, tetapi juga masuk ke ranah politik dan pemerintahan. Ini memberi Soeharto kekuatan tambahan untuk memastikan bahwa segala bentuk perlawanan terhadapnya dapat diredam.
Propaganda Orde Baru memang luar biasa dalam menciptakan citra Soeharto sebagai pemimpin ideal. Namun, di balik keberhasilannya, dampak buruknya begitu nyata. Rakyat kehilangan daya kritis, menerima segala informasi dari pemerintah tanpa mempertanyakannya.
Apa pelajaran penting dari era ini? Yaitu meski kita kini hidup di era kebebasan pers, ancaman propaganda tetap nyata. Di zaman media sosial, manipulasi opini bahkan lebih mudah dilakukan melalui konten viral yang kebenarannya sulit diverifikasi. Sejarah ini mengingatkan kita untuk tetap kritis, tidak mudah termakan narasi, dan selalu mencari kebenaran yang lebih jernih. Jangan sampai pengalaman pahit masa lalu kembali terulang.
Presiden kedua Republik Indonesia itu telah membuktikan bahwa propaganda dapat menjadi senjata yang jauh lebih ampuh daripada pedang. Namun, keberhasilan senjata ini hanya mungkin terjadi ketika masyarakat gagal menggunakan akal kritisnya. Maka dari itu, mari kita belajar dari masa lalu dan menjaga nalar kita tetap tajam. Jangan sampai cuci otak ala politikus kembali membelenggu pikiran kita.
Penulis: Kuntum Khaira Ummah (Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi)