Tahun 2010. Cuaca cerah ketika pesawat Garuda yang saya tumpangi mendarat di Bandara Ngurah Rai. Di pintu kedatangan sudah menunggu panitia Ubud Writers and Riders Festival, sebuah ajang pertemuan penulis internasional yang diikuti oelh 36 negara, dengan kertas bertuliskan nama saya. Seorang perempuan Bali yang ditugaskan menjadi LO saya.
“Kita tunggu teman dari Jakarta dulu, sebentar lagi pesawatnya landing. Kemudian kita akan makan di Makbeng!” katanya familiar dengan logat Bali yang kental. Saya hanya tersenyum. Selain lelah setelah perjalanan jauh dari Payakumbuh, juga terlena menikmati Kota Denpasar yang sibuk. Setelah teman yang kami tunggu tiba, kami segera menuju Makbeng dengan sebuah mobil yang juga sudah disediakan panitia.
Makbeng. Menurut saya tidak ada yang istimewa di sana. Sebuah warung makan sederhana yang menyuguhkan khusus ikan laut. Tapi entah kenapa restoran (kalau di Payakumbuh lebih tepat disebut warung ampera) itu sangat berjubel. Pengunjung rela mengantri tempat duduk. Kami makan, di samping kami orang-orang berdiri menunggu meja dan kursi yang kosong. Situasi itu membuat kami tidak bisa berlama-lama.
“Kita langsung ke Ubud,” kata sang LO memutuskan.
Dari Denpasar ke Ubud kira-kira 40 kilometer atau satu setengah jam perjalanan. Saya sengaja memilih duduk di depan agar sepanjang perjalanan saya bisa menikmati Pulau Bali.
“Asli orang Bali, Bli?” tanya saya kepada supir yang setengah baya tersebut mencairkan suasana.
“Iya. Sudah sering ke Bali?” ia balik bertanya.
“Belum, Bli,” jawab saya.
“Beginilah Bali. Serasa bukan di Indonesia,” katanya.
Sepanjang jalan saya lihat bule-bule lebih banyak ketimbang penduduk asli. Mungkin itu yang dimaksud sang supir tersebut. Tidak lama kami pun sampai di Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar. Saya pun langsung diantar ke hotel untuk beristirahat karena acara akan berlangsung nanti malam.
Di hotel, saya tidak langsung beristirahat, tapi malahan merental sebuah motor untuk berkeliling. Tiba-tiba saja saya sudah sampai di Museum Antonio Blanco, Monkey Forest, Pasar Gianyar, Museum Neka, dan tentunya juga mencari Rumah Makan Padang.
Begitulah, semenjak itu saya sering bolak-balik ke Bali, khususnya Ubud. Alangkah banyak yang tak puas-puas untuk dinikmati. Mungkin karena itu pula sebabnya Ubud disebut sebagai Desa Internasional karena begitu banyaknya wisatawan asing yang berkunjung ke sana. Sebagian besar dipinggir jalan di kawasan Ubud terdapat restaurant, hotel, galeri dan toko-toko yang menjual kerajinan lokal serta banjar. Kabupaten yang banyak memiliki seniman dan dapat dikatakan merupakan pusat budaya seni di Bali, khusus seni lukis, seni ukir, seni patung, seni tari dan musik traditional Bali. Demikian, saya pun terkagum-kagum terhadap desa tersebut. Di samping mereka dikarunia dengan alam yang indah, juga didukung oleh penataan yang rapi dan bersih. Sarana prasarana memadai. Infrastruktur mencukupi. Dan kemudian saya mengunjungi banyak tempat (ada yang masuk program acara yang saya ikuti), ada yang saya datangi sendiri atas keinginan pribadi. Goa Gajah, Tampak Siring, Sungai Ayung, Pasar Sukawati sampai jejeran kafe di sepanjang Byah-Byah memanggil saya untuk singgah.
Lalu apa hubungannya dengan Payakumbuh?
*****
Payakumbuh bukanlah Ubud. Ia tidak memiliki keindahan alam yang lebih. Dan barangkali, ia belum memiliki sarana prasarana yang memadai, infrastruktur yang mencukupi, dan tentu juga –ia belum terkelola dengan baik.
Lalu dengan cara bagaimana kita bisa mengembangkan pariwisata di kota ini?
Barangkali ini sebuah pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab. Apa yang pantas kita jual (dengan bahasa yang lebih manis: kita suguhkan) kepada orang lain yang akan datang ke sini? Sebagaimana orang-orang berjubel di Makbeng, seperti bule-bule yang memenuhi jalan-jalan di sepanjang Legian, apakah kota kita sudah pantas bermimpi untuk menjadi sebuah kota yang layak untuk dikunjungi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut barangkali hanya akan menusuk diri kita sendiri. Agar hal tersebut tidak berlarut-larut dan menjadi beban yang tak tuntas, tentu kita harus segera mencarikan solusi. Di tengah kekurangan-kekurangan tersebut barangkali masih ada alternatif-alternatif yang dapat kita lakukan. Meskipun kita agak riskan untuk bicara tentang kesempurnaan. Bagaimana tidak, dengan apa kita menjawab kebutuhan-kebutuhan para wisatawan (baik domestik maupun asing) yang berkunjung? Bagaimana kesiapan perhotelan, restoran, transportasi, hingga pelayanan? Punyakah kita upacara-upacara adat, beragam ritual yang bisa dijual dan lain sebagainya? Siapkah kita melihat kebudayaan terjajah oleh arus kekinian?
Ah, tapi itu bukan bidang saya. Jadi saya merasa tidak pantas untuk membicarakan hal tersebut lebih detil. Karena saya seorang yang berkecimpung di dalam dunia kesenian, maka saya akan mencoba mencari alternatif apa yang bisa dilakukan insan seni dalam meningkatkan dunia pariwisata (dalam artian menarik minat wisatawan untuk berkunjung ke Kota Payakumbuh).
Baiklah. Sebelumnya saya sebut sedikit tentang Payakumbuh Worldmusic Festival (kemudian disingkat PWF) yang sudah dilaksanakan oleh kawan-kawan seniman Payakumbuh sebanyak dua kali. Sebuah kegiatan yang kemudian menjadi agenda tahunan. Yang dalam dua tahun kegiatan tersebut telah diikuti oleh kelompok musik dari Padang Panjang, Sawahlunto, Padang, Pekanbaru, Bengkulu, Jakarta, Medan, Kalimantan, Bali, Malaysia dan Swis. Kalau dilihat secara ringkas, barangkali PWF tidak seramai ketika sebuah konser seorang artis terkenal digelar. Juga tidak seramai ketika kita mengundang penyanyi dangdut untuk menggoyang dingin malam. Tapi apakah kita hanya semata butuh keramaian? Lalu bagaimana kalau yang ramai itu ternyata adalah orang Payakumbuh semua? Bukankah itu tidak berarti bagi kemajuan pariwisata?
Kemudian bandingkan dengan konsep PWF. Barangkali penontonnya tidak seberapa. Tapi jika yang tidak seberapa itu adalah orang-orang yang berasal dari luar Kota Payakumbuh, bukankah ia akan menceritakan Kota Payakumbuh kepada keluarganya, kepada sanak saudaranya, kepada tetangganya, kepada rekan sejawatnya, sehingga akan terbangkitkan pula keinginan orang lain untuk datang ke Payakumbuh. Bukankah itu tujuan kita?
Nah, itu salah satu contoh sederhana menurut saya. Alternatif-alternatif yang bisa kita lakukan di bidang kesenian. Bahwa harus ada even-even kesenian yang terjadwal, teragendakan dengan rapi, sehingga ia menjadi bagian dari daftar yang bisa dikunjungi oleh wisatawan. Dengan demikian juga barangkali, orang-orang Riau yang berakhir pekan ke Sumatera Barat tidak hanya melewati Kota Payakumbuh untuk menuju Bukittinggi, Padang, dan lain-lain. Akan tetapi, setidaknya satu atau dua akan terhenti di Kota Payakumbuh karena sebuah alasan yang pasti, yaitu ada peristiwa kesenian dan kebudayaan yang akan mereka tonton. Kita punya sikatuntuang, pacu itik, pacu jawi, PWF, dan konon kabarnya akan lahir pula sebuah agenda yang bertajuk Payakumbuh Sabtu Sore. Semua berawal dari hal-hal yang sederhana. Ketika ia sudah tertata dengan baik barangkali ia akan menjadi besar. Kita tidak harus lagi terkagum-kagum dengan kota lain, daerah lain yang dengan pesat telah maju pariwisatanya. Yang harus kita lakukan adalah berbuat. Mencari jalan keluar apa yang terbaik sehingga kota kita pun menjadi bagian penting oleh para wisatawan. Semua tidak terlepas dari upaya berbagai pihak, termasuk insan kesenian.
Demikianlah, tulisan yang tidak ilmiah ini saya tulis hanya sebagai pengantar untuk kita berdiskusi, apa yang harus kita lakukan untuk kemajuan dan perkembangan pariwisata di kota kita ini.
*****
Iyut Fitra. Penyair tinggal di Payakumbuh.
(Dibacakan pada kegiatan Pengembangan Sumber Daya Manusia Bidang Kebudayaaan dan Pariwisata Bekerjasama dengan Lembaga Lainnya, di Hotel Bundo Kanduang Payakumbuh 29 April 2014)