Puisi-puisi Iyut Fitra sebelumnya, yang telah dihimpun dalam tiga buku puisi tunggal: Musim Retak (2006), Dongeng-dongen Tua (2009), dan Beri Aku Malam (2012) terbaca sebagai penganut kental tradisi lirik perpuisian Indonesia. Sebagian besar puisi-puisi Iyut tersebut bisa dikategorikan, memakai istilah klasik Teeuw, sebagai ‘nyanyian sunyi’ kesekian perpuisian modern Indonesia. Varian dari puisi-puisi yang telah ditulis oleh, misalnya, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Subagio Sastrowardoyo, atau Sapardi Djoko Damono dan Goenawan Mohammad. Bahwa puisi adalah ungkapan kesunyian yang muncul akibat persentuhan, pergesekan, atau pergulatan, antara ‘aku’ penyair dengan dunianya. Bahwa bahasa puisi mestilah diterjemah sebagai objek yang mendukung imaji dan penghubung tunggal antara pembaca dengan intuisi penyair.
Suara-suara penyair sebagai subjek yang teralienasi di hadapan dunia yang hiruk-pikuk, cinta yang gagal, serta perjalanan yang tak berujung, dinyatakan dengan lantang dalam puisi-puisi Iyut terdahulu sebagai penegasan lirisisme yang dianutnya. “telah kutulis badai ketika perang menyala//…//”, atau, “seribu tali gantungan pun tak akan menjemput matiku//…//”, merupakan ungkapan-ungkapan ‘aku lirik’ yang muncul sebagai konsekwensinya berhadapan dengan ragam persoalan dan berbagai lingkungan, pola demikian kerap muncul dalam buku Musim Retak, kumpulan puisi tunggal pertama Iyut Fitra. Sementara dalam buku Dongeng-dongeng Tua, pengembaraan asmara ‘aku lirik’ yang mabuk lebih banyak digunakan Iyut sebagai persoalan-persoalan yang dihadapi oleh sang ‘aku lirik’ itu, “…//telah kuhafal bau keringatmu sebagaimana kuhafal selirih apa rintihmu//…”, atau “sebait saja, kirimkan aku lagu tentang cinta//…”, ada juga “…//bagaikan ular kau pun menyelusup ke tubuh sepiku. menuliskan hasrat//… Adapun dalam buku Beri Aku Malam, aku lirik lebih banyak melakukan perjalanan, bertemu dengan orang-orang, saling bertukar kisah dan kenangan.
Tegangan antara aku lirik dengan dunianya itu diungkapkan dengan kalimat yang lantang, metafora yang liar, citraan-citraan yang kaya dan beragam, serta diksi-diksi yang mengejutkan. Endorsement yang diberikan beberapa sastrawan, meskipun tidak mendalam, setidaknya juga turut menegaskan bagaimana keberagaman imaji yang muncul dalam puisi-puisi Iyut Fitra dalam tiga buku puisi terdahulu itu. Imaji yang kadangkala tak mudah dikendalikan, kata Jamal D Rahman. Atau menurut Acep Zamzam Noer, apa yang digambarkan dalam puisi-puisi Iyut begitu kaya dan berwarna. Afrizal Malna juga mengungkapkan hal yang senada, bahwa puisi-puisi Iyut tidak membuat irama dalam ruang, melainkan terus bergerak. Puisi-puisi Iyut Fitra, menurut Ivan Adilla, menyajikan pengembaraan penyair mengarungi aneka sisi kehidupan; sejak dari pengalaman individual, percintaan, persahabatan, perang hingga perubahan sosial.
Setelah melakukan pengembaraan estetis dan tematis dengan ‘aku lirik’ sebagai subjek tunggal dalam tiga buku sebelumnya itu, puisi-puisi Iyut Fitra dalam Baromban (2016) justru terbaca sedang menyusuri jalan pulang ke kampung kesederhanaan. Bergerak dalam ruang-ruang keseharian dengan kalimat, metafora, dan pilihan diksi yang ketat lagi terjaga, mengeliminasi detail-detail yang kerap menjadi strategi puitik Iyut Fitra pada puisi-puisi sebelumnya. Baromban lebih banyak berperkara dengan persoalan-persoalan sosial, tentang nasib orang-orang yang dilupakan, manusia-manusia yang digerus oleh zaman. Puisi-puisi yang terhimpun dalam buku puisi keempat Iyut Fitra memposisikan diri sebagai penyambung suara-suara yang dimarjinalkan itu.
Apabila dalam puisi-puisi sebelumnya ‘aku’ adalah subjek tunggal yang berhadap-hadapan langsung dengan dunia sekelilingnya, mengungkapkan nilai-nilai, memberikan pandangan, atau mengkritisi berbagai persoalan, bahkan terkesan bermonolog. Maka dalam Baromban, subjek tersebut digantikan oleh orang ketiga ‘ia’. Penyair membiarkan “ia” yang berbicara, merepresentasikan diri sebagai ragam subjek dengan persoalan khasnya masing-masing. Keberagaman subjek dalam puisi-puisi di buku Baromban itu, pada kadar-kadar tertentu, juga turut menggeser pola tradisi lirik yang kental pada puisi-puisi Iyut Fitra dalam tiga buku puisi terdahulu menjadi bentuk yang lebih naratif.
Hanya satu puisi yang masih menggunakan kata ganti ‘aku’ sebagai subjek, yaitu dalam puisi berjudul “Rabina”, namun tidak serta merta merujuk pada ‘aku penyair’, ‘aku’ digunakan sebagai kata ganti subjek yang kisah dan persoalannya tengah dibicarakan dalam puisi. Selebihnya, puisi-puisi dalam Baromban selalu menggunakan kata ganti ‘ia’. Posisi penyair dalam puisi-puisi tersebut tidak lagi sebagai narator atau pemberi makna tunggal terhadap berbagai hal. Namun lesap dalam dan bernegosiasi dengan peran ‘ia’ yang juga memiliki referensial. Ada dua pola ‘ia’ yang kerap muncul dalam Baromban. Pertama, ‘ia’ adalah subjek yang mengalami langsung berbagai persoalan, pelaku yang identitasnya bisa dilacak dalam struktur puisi. Kedua, ‘ia’ adalah pengamat pasif, subjek yang hanya melihat berbagai peristiwa dan persoalan.
Dalam puisi yang berjudul “Angkutan Kota yang Tak Penuh”, kegamangan dan kecemasan tentang perkembangan sebuah kota digambarkan dengan “…//segala tiba-tiba menjadi kubus dan beton yang menggapai cakrawala//pohon-pohon tertindih. Gubuk-gubuk kecil jadi asing dan letih//…” penggambaran tersebut ditumpangkan pada sudut pandang ‘ia’ sebagai subjek yang identitasnya bisa ditemukan dalam puisi. ‘ia’ adalah seorang ‘bapak tua’. Identitas yang menunjukkan usia itu, tentu untuk menjadi saksi mata dari perkembangan kota yang dimaksud. Jenis orang-orang yang telah merasakan asam garam perjalanan sebuah kota.
Persoalan yang mirip dengan pola yang serupa juga muncul dalam puisi “Seorang Pemulung Di Toko Mainan”. Pertentangan antara masalalu dengan hari ini, atau kampung dengan kota, digambarkan dengan perbandingan antara jenis ragam mainan pada masalalu di kampung dengan bentuk mainan pada hari ini di kota yang digambarkan secara ironis dari perspektif seorang pemulung. “…//kota yang sibuk melemparnya begitu saja. tiba-tiba ia ingat kampung//anak-anak bermain kapal kertas. Menghanyutkannya bersama hujan tengah hari//…//puzzle, mobil-mobilan keluaran eropa, lego, balok susun, ular tangga//hingga tenda-tendaan dan sebuah kolam penuh warna. Semua bagai bersepakat//melempar tatapan tajam. Masa silam itu tertusuk//pedihnya mengalir menuju kampung yang hilang//…”
Posisi ‘ia’ yang merepresentasikan ragam subjek dengan persoalan khasnya masing-masing, seperti dua puisi di atas, banyak muncul pada puisi-puisi lain dalam Baromban. ‘Ia’ yang berperan sebagai Magek Manandin dalam puisi “Lagu Burung Nuri”. ‘Ia’ yang seorang penjual bendera dalam puisi “Penjual Bendera”. ‘Ia’ yang berlaku sebagai kusir bendi dalam puisi “Kusir Bendi”. ‘Ia’ sebagai pencari batu dalam puisi “Orang Kurai”. Atau ‘ia’ sebagai penggali pasir dalam puisi “Baromban” dan “Sampan-sampan di Baromban”.
Meskipun terdiri dari beragam subjek dengan persoalan khasnya masing-masing, namun benang merah yang mempersatukan mereka adalah bahwa subjek-subjek tersebut merupakan orang-orang yang dilindas oleh zaman, orang-orang yang tersisih atau kalah bertarung dengan berbagai macam bentuk perubahan. “…//dan di sebuah halte bernama masa lalu,//tiba-tiba ia berteriak, “turunkan aku di sini!”//…” merupakan pernyataan subjek yang lebih memilih berhenti di masa lalu ketimbang terus melaju dalam angkutan kota yang tak penuh. Dalam puisi Kusir Bendi, subjek ‘ia’ menyadari bahwa “…//kuda merah dan bendi merah//betapa yang lamban akan tertinggal oleh setiap yang gegas.” atau tentang nasib pencari batu “…//mereka yang dulu bergembira menuju bukit-bukit. Pencari batu//hanya melihat musim yang tak akan pernah abadi//waktu bertukar-tukar. Sejenak datang setelah itu pergi//…”
Penulis: Fariq Alfaruqi lahir di Padang, Sumatera barat, 30 Mei 1991. Pegiat Sastra dan Alumnus Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas. Bergiat di Ranah Teater dan Komunitas Kandangpadati.