Categories Artikel

Tangan Penuh Kasih Rahmah El Yunusiyah di Tengah Duka Tragedi Lembah Anai 1944

Oleh: Habibur Rahman (Mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi)

Mungkin tak banyak dari kita yang tahu bahwa tragedi kecelakaan kereta api di Lembah Anai, Sumatra Barat, pada 25 Desember 1944 adalah salah satu tragedi paling parah di Indonesia pada masa pendudukan Jepang, dan konon menempati posisi ketujuh dalam sejarah kecelakaan kereta api dunia.

Kisahnya perlahan memudar, terkubur dalam ingatan masyarakat, seolah terlupakan oleh waktu.Peristiwa tragis ini menyisakan duka yang mendalam, terutama bagi masyarakat Sumatra Barat. Sekitar 200 orang kehilangan nyawa, dan ratusan lainnya terluka.

Evakuasi berlangsung dalam suasana mencekam karena medan yang sulit. Seorang pemuda asal Pariaman bernama Yudi pernah menceritakan bahwa kakeknya merupakan salah satu dari korban selamat pada tragedi itu, ia bertutur ketika itu kakeknya masih bayi berumur 6 bulan dan selamat pada tragedi kelam itu.

Ada pula kisah dari Sarkawi yang neneknya, seorang pedagang beras antar-pekan (pasar tradisional dadakan di Minangkabau), juga turut menjadi korban. Saat kejadian, ibunya masih berusia tiga tahun.Kecelakaan ini memiliki banyak versi yang beredar dari mulut ke mulut.

Ada yang menyebut bahwa kereta gagal dalam pengereman. Versi lain menyebutkan bahwa saat kereta melintas di atas jembatan, tiba-tiba jembatan itu runtuh. Suara kereta meraung diiringi suara besi yang terjatuh, membawa maut bagi mereka yang berada di dalamnya.Jalur kereta itu dulunya digunakan untuk mengangkut batu bara oleh pemerintah kolonial Belanda.

Selama masa kolonial, hampir tidak pernah terjadi kecelakaan yang menimbulkan korban sebanyak ini. Namun, di bawah pendudukan Jepang, standar perawatan rel diduga menurun, sehingga rel tidak siap menopang beban kereta yang membawa penumpang dalam jumlah besar.

Di balik peristiwa memilukan ini, ada sosok heroik yang jarang disebut, Rangkayo Rahmah El Yunusiyah, seorang reformis pendidikan Islam dan pejuang kemerdekaan Indonesia.

Saat berita kecelakaan itu sampai padanya, Rahmah berkata dengan penuh empati, “Bawa dunsanak-dunsanak kami ke sini. Diniyah Puteri akan saya jadikan rumah sakit sekarang. Anak-anakku, siapkan tempat tidur, bantal, selimut. Jika tak cukup, kembangkan tikar di mana saja, di ruang kelas ini. Tuhan memanggil kita untuk menolong sesama.”

Meski bukan dokter, Rahmah mempelajari dasar-dasar pengobatan dari tiga dokter terkemuka Minangkabau pada masanya, sementara bibinya, Mak Uwo, adalah seorang bidan.

“Bawa mereka ke sekolah Etek Amah!” begitu ia memerintah penuh kasih.

Tak lama, korban kecelakaan berdatangan satu per satu. Orang-orang berbaris panjang, memanggul mereka yang terluka, berdarah, patah, dan pingsan. Diniyah Puteri berubah menjadi rumah sakit darurat yang dipenuhi korban kecelakaan itu.

Begitu banyak korban hingga sebagian harus dirujuk ke Padang dan Bukittinggi. Hari demi hari berlalu, evakuasi tak kunjung usai. Rumah sakit penuh dengan mereka yang terluka parah.

Bagi korban yang meninggal, mereka dimakamkan di satu liang tanah milik seorang ulama bernama Syekh Adam di Padang Panjang. Kota ini memiliki pemakaman khusus bagi orang yang bukan penduduk asli, disebut Pakuburan Makam Pusaro Dagang. Siapa pun yang meninggal di perantauan dikuburkan di sana.

Syekh Adam, yang sangat dihormati, mengizinkan semua korban dimakamkan di makam itu, dan pemakaman dihadiri ribuan orang. Jenazah-jenazah itu dikuburkan dalam satu liang, dan sebuah tugu peringatan dibangun untuk mengenang mereka.

Siapakah Rahmah El Yunusiyah? Rahmah adalah seorang tokoh pendidikan perempuan yang luar biasa. Dedikasinya untuk pendidikan tak terbantahkan, seluruh tenaganya ia curahkan demi kemajuan pendidikan perempuan.

Cita-citanya sederhana namun dalam: perempuan Indonesia harus mendapat kesempatan penuh untuk menuntut ilmu agar dapat berdaya, berdiri sendiri, dan menjadi ibu pendidik yang cakap, aktif, serta bertanggung jawab pada kesejahteraan bangsa.

Berkat dukungan Persatuan Murid-Murid Diniyah School yang didirikan oleh kakaknya, Rahmah mendirikan madrasahnya pada 1 November 1923. Awalnya hanya ada 71 murid, sebagian besar ibu rumah tangga muda.

Pelajaran diberikan setiap hari selama tiga jam di sebuah masjid di Pasar Usang, Padang Panjang. Rahmah juga berupaya memberantas buta huruf di kalangan ibu-ibu yang lebih tua.

Rahmah memiliki prinsip yang kuat. Ketika Belanda menawarkan bantuan dengan syarat Diniyyah Puteri harus berada di bawah kendalinya, Rahmah menolak dengan tegas. Ia tak ingin pendidikan di madrasahnya terdistorsi oleh pengaruh kolonial. Saat pendudukan Jepang, Rahmah bahkan mengungsikan seluruh muridnya dan menanggung semua kebutuhan mereka, memastikan mereka tetap aman.Perhatian Rahmah untuk kaumnya memang tak pernah padam.

Ia bercita-cita mendirikan perguruan tinggi Islam khusus untuk perempuan, lengkap dengan fasilitas pendukungnya. Cita-citanya ini sebagian telah tercapai. Ketika ia wafat, Diniyyah Puteri telah memiliki Perguruan Tinggi dengan Fakultas Dirasah Islamiyah. Ia juga bermimpi mendirikan rumah sakit khusus wanita.

Di bawah kepemimpinan Rahmah, Diniyyah Puteri berkembang pesat. Keberhasilan lembaga ini menarik perhatian banyak tokoh, baik dalam maupun luar negeri. Pada 1957, Rahmah dianugerahi gelar “Syaikhah” oleh Senat Guru Besar Universitas Al-Azhar Mesir gelar yang belum pernah diberikan kepada siapa pun sebelumnya.Kisah Rahmah El Yunusiyah adalah warisan yang berharga. Semangatnya untuk kemajuan kaum perempuan dan perhatiannya pada nilai-nilai kemanusiaan tetap hidup dalam ingatan, sebuah inspirasi yang abadi bagi generasi penerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *