Categories Artikel

Buya Rusli Abdul Wahid: Ulama Asal Koto Tangah yang Pernah Menjadi Menteri Pada Kabinet Ali Sastroamidjojo II

Oleh: Habibur Rahman (Mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi)

Buya Rusli Abdul Wahid ialah seorang figur ulama, pendidik dan negarawan. Beliau lahir pada 20 Agustus 1908 di Koto Tangah, Kec.Bukik Barisan, Kab.Lima Puluh Kota. Beliau merupakan murid dari Al-Allamah Syekh Abdul Wahid Ash-Shalihi pendiri MTI Tobek Godang (Tokoh Pendiri PERTI) yang sekaligus ialah mertuanya.

Oleh karena hal tersebut, nama belakang beliau adalah Abdul Wahid dan itu berasal dari nama belakang Syekh Abdul Wahid itu sendiri. Di samping itu, Buya Rusli Abdul Wahid adalah seorang ulama terkemuka yang dikenal karena pengaruhnya dalam dunia keislaman di Indonesia, khususnya dalam lingkungan masyarakat Minangkabau.

Ia merupakan salah satu tokoh yang sangat dihormati, terutama dalam komunitas Muslim yang menjunjung tinggi ajaran-ajaran Islam tradisional.Buya Rusli sejak usia muda sudah menunjukkan ketertarikan yang mendalam terhadap ilmu agama.

Pendidikan formalnya dimulai dari pesantren, yaitu di Madrasah Tarbiyah Islamiyah Tobek Godang yang kala itu menjadi salah satu Pondok Pesantren ala tradisional yang tersohor di Minangkabau, disitulah Buya Rusli memperoleh dasar-dasar pengetahuan agama yang kuat.

Madrasah Tarbiyah Islamiyah Tobek Godang, sendiri, ialah tempat Buya Rusli menimba ilmu ia bersama sang guru turut membesarkan Madrasah Tarbiyah Islamiyah Tobek Godang, hingga kala itu diminati oleh banyak kalangan dari berbagai wilayah. Menurut Apria Putra, beberapa sekolah MTI kala itu memiliki spesifikasi yang menonjol, di antaranya :

Adapun Madrasah Tarbiyah Islamiyah Canduang dikenal dengan spesialisasi fikih, dan Madrasah Tarbiyah Islamiyah Jaho dikenal dengan spesialisasi ilmu alat (nahwu, sharaf, dan balaghah, sedangkan Madrasah Tarbiyah Islamiyah Tobek Godang lebih menonjol pada keilmuan Tasawuf yang membuatkan sekolah-sekolah ataupun pondok tersebut terpandang di Pulau Sumatra pada umumnya.

Pada tahun 1942 Jepang mulai mendominasi dalam segala lini di daratan Minangkabau. Pemerintah Jepang saat itu berinisiatif untuk membuat Sidang Kerukunan Minangkabau sebagai ganti dari Minangkabau Raad buatan Belanda.

Deretan anggota sidang ini terdiri dari Alim Ulama, Kaum Adat, Serta Cadiak Pandai, yang cukup dikenal pada masanya, yang berjumlah 25 orang, yang mewakili dari kalangan ulama di antaranya ada Syekh Sulaiman Ar-Rasuli “Inyiak Canduang” (1871-1970), Syekh Ibrahim Musa Parabek (1882-1963), Syekh Muhammad Djamil Djambek (1862-1947) dan Buya Rusli Abdul Wahid (1908-1999). Setelah tak lama kemudian Jepang mengganti dengan perwakilan yang dikenal dengan sebutan “Syu Sangi Kai”, dan dari Kabupaten Lima Puluh Kota, Buya Rusli terpilih untuk wakil.

Tak berhenti sampai disitu, pemerintah Jepang kala itu juga membentuk sebuah badan kemiliteran yang dinamakan” Gyu Gun Ko En Kai”, dan sebagai ulama dan juga cendekiawan, Buya Rusli bersama Mahmud Yunus (Tokoh Pendidikan Islam) turut mendapatkan posisi dalam hal tersebut.Ada tiga jabatan yang diemban oleh beliau selama pemerintahan Jepang dan itu dapat dilaksanakan dengan baik, meski kalau itu usia beliau terbilang masih sangat muda.

Namun pada akhirnya usia yang terbilang muda itu bukanlah sebuah halangan, hingga dapat mengantarkannya menerima 3 bintang tanda jasa dari pemerintahan Jepang sebagai bentuk penghargaan atas dedikasi yang telah dilakukan selama ini, penghargaan itu diberikan kepada Buya Rusli pada saat upacara besar di Padang Japang, Kab. Lima Puluh Kota, kala itu.

Di sisi lain, beliau Buya Rusli Abdul Wahid juga pernah menjabat sebagai anggota Parlemen Sementara Republik Indonesia di tahun 1954. Hasil Pemilu 1955 beliau terpilih menjadi anggota DPR RI.Kemudian beliau diangkat menjadi Menteri Negara Urusan Irian Barat dalam kabinet Ali Sastroamidjojo (1956-1957) menggantikan Zainul Arifin yang sebelumnya memegang jabatan tersebut.

Pada tahun 1960-1965, beliau menjadi Anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA).Buya Rusli Abdul Wahid juga dikenal sebagai sosok yang produktif dalam menulis, ia memiliki beberapa karya tulis yang kemudian menjadi buku Daras di Madrasah dan Pesantren yang berafiliasi kepada PERTI, antara lain karya tersebut yaitu:

1. Bidayah al-Tauhid. Kitab ini ditulis dalam bahasa Arab, berisi tentang dasar-dasar ilmu tauhid atas Mazhab Ahlussunnah Wak Jama’ah (Sunni)

2. Kepertian. Sebuah buku yang merupakan pedoman pengkaderan Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Di dalamnya memuat dasar-dasar Ahlussunnah Wak Jama’ah Mazhab Syafi’i dan metode organisasi.Selain berkecimpung di pentas nasional, Buya Rusli juga pernah aktif di kancah internasional melalui organisasi Liga Muslimin.

Di era 1980-an dan 1990-an beliau aktif di MUI, baik pusat maupun DKI Jakarta. Buya Rusli Abdul Wahid wafat pada 25 Februari 1999 dan di makamkan di (TPU) Tanah Kusir, Jakarta Selatan, dengan segala kontribusinya, Buya Rusli Abdul Wahid telah meninggalkan jejak yang mendalam dalam dunia keislaman di Indonesia.

Meskipun ia telah tiada, ajaran-ajarannya terus hidup dan menjadi inspirasi bagi banyak orang. Ia adalah sosok ulama yang menjadi panutan, tidak hanya karena pengetahuannya yang luas, tetapi juga karena keteladanan hidupnya yang penuh dengan integritas dan kebaikan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *