Categories Artikel

Besar Paku Daripada Palu: Kritik untuk MUI Kota Payakumbuh

Oleh Heru Joni Putra (Budayawan)

Penolakan MUI Kota Payakumbuh atas Tabligh Akbar yang akan diselenggarakan tanggal 4 November 2024 oleh Pusat Kajian Al Husam di Tiakar, Payakumbuh Timur, merupakan keputusan yang memalukan, karena keputusan penolakan dan alasan penolakan tidak saling menyambung satu sama lain. Lain yang berasap lain pula yang dipadamkan.

Di poin nomor 4 surat tersebut, MUI Payakumbuh menggunakan kata “kajian”, tetapi argumen penolakan itu tidak satupun menunjukkan adanya kajian. Kalau memang sudah melakukan kajian, maka harus dijelaskan apa saja bahan yang digunakan untuk mengkaji, kajian seperti apa yang dilakukan, dan apa hasil kajian tersebut, maka setelah itu baru dijelaskan mengapa MUI Payakumbuh harus mengambil keputusan menolak.

Jangankan benar-benar ada kajian, yang terpampang jelas justru hal sebaliknya: sebatas dugaan! Di poin nomor 3 surat tersebut MUI Payakumbuh menggunakan kata “kami duga”. Ini benar-benar memalukan. Bagaimana bisa sesuatu yang akhirnya disebut kajian ternyata awalnya hanya berdasarkan dugaan? Bagaimana bisa suatu yang awalnya dugaan dapat disimpulkan seakan-akan suatu kepastian? Sungguh, kita tidak habis pikir mengapa MUI Payakumbuh bisa membuat keputusan yang memalukan seperti ini.

Selanjutnya, di poin nomor 2 dijelaskan bahwa pada September 2024 lalu Rakorda MUI Sumbar telah memutuskan untuk tidak mengizinkan para mubaligh dari luar Sumatra Barat untuk ikut campur dalam kontestasi Pilkada di Sumatra Barat. Tentu kita layak mengkaji kembali keputusan aneh dari MUI Sumbar ini, namun begitu kalau memang MUI Payakumbuh meyakini keputusan itu sudah sepatutnya, apakah ada bukti nyata kalau Tabligh Akbar yang diselenggarakan Pusat Kajian Al Husam berkaitan dengan kontestasi Pilkada? Dan kalaupun ulama yang diundang dalam Tabligh Akbar tersebut mendukung salah satu paslon Pilkada Payakumbuh, apakah ada bukti nyata kalau ulama tersebut telah menjadikan panggung umat sebagai panggung politik?

Tentu saja tidak ada bukti. MUI Payakumbuh hanya sebatas menduga. Tidak ada yang salah dengan dugaan selama itu tidak dijadikan kesimpulan. Suatu dugaan harus dipastikan dulu kebenarannya, tapi sayangnya MUI Payakumbuh abai pada hal penting tersebut. Bahkan dari video di media sosial semakin jelas bahwa Ketua MUI Payakumbuh hanya “melihat dan memperhatikan” dan “menerima informasi dari yang lain”. Dengan kata lain, MUI Payakumbuh tidak sedikitpun mempunyai informasi sahih, baik yang didapat langsung dari panitia acara maupun dari hasil penyelidikan resmi.

Apakah MUI Payakumbuh mau menyadari semua klaim tanpa bukti tersebut? Di siaran Youtube Dialog Detak Sumbar, MUI Payakumbuh terus bersikeras sendiri bahwa kegiatan Tabligh Akbar bermuatan politik praktis karena ulama yang akan mengisi acara tersebut mendukung salah satu paslon. Kini, pertanyaan lanjutan untuk MUI Payakumbuh: Seberapa jauh MUI Payakumbuh telah memastikan bahwa Pusat Kajian Al Husam mengundang ulama dari provinsi sebelah untuk kepentingan politik praktis?! MUI Payakumbuh mengatakan ada bukti tapi nyatanya tidak pernah ditunjukkan bukti tersebut. Lagi-lagi, semua klaim MUI Payakumbuh tidak dapat disaksikan dan dikonfirmasi karena pijakannya prasangka belaka.

MUI Payakumbuh dalam surat penolakan hanya menyebut bahwa Tabligh Akbar “berpotensi dijadikan alat kampanye”. Kalau baru di tahap berpotensi, mengapa keputusan yang diambil adalah penolakan? Sesuatu yang di tahap potensi tidak bisa bisa sekonyong-konyong dianggap sebagai kenyataan sebenarnya. Hal paling etis dilakukan adalah berdialog dengan Panitia Tabligh Akbar, menyampaikan potensi-potensi yang dimaksudkan, memastikan seberapa besar potensi itu terjadi, dan kemudian membuat langkah bersama yang tidak merugikan pihak mana pun. Nyatanya, MUI Payakumbuh mengabaikan hal-hal demikian dan dengan sewenang-wenang membuat keputusan sepihak, yang jelas-jelas merugikan banyak pihak lain.

Oleh sebab itu, karena keputusan menolak dan alasan penolakan tidak dapat dipertanggungjawabkan, baik secara logika maupun pembuktian, MUI Payakumbuh alangkah baiknya mencabut surat tersebut dan mulai berhati-hatilah dalam membuat suatu penolakan. Kalau MUI mengaku-ngaku sebagai pendidik umat, surat penolakan itu adalah bukti nyata bahwa MUI telah melakukan sejenis pendidikan yang merusak. Membuat penolakan hanya berdasarkan dugaan adalah perilaku tidak beradab, apalagi kalau MUI yang melakukannya. Apa sebenarnya yang mau ditegakkan MUI, kalau nyatanya besar paku daripada palu?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *