Oleh: Habibur Rahman (Mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi)
Beliau adalah Shahibul Karamah Syekh H. Amin lahir sekitar tahun 1915 dan (w.1978) terlahir dalam keluarga yang agamis dan kuat memegang tradisi keilmuan Tasawuf.
Menurut Apria Putra, Datuak dari Syekh H. Amin yakni Syekh Abu Bakar atau yang dikenal dengan Datuak Gaek merupakan ulama tua yang berpengaruh di pada asal abad 20.
Begitu juga dengan sang ayah yakni Angku Mudo H.Rasyidin juga seorang ulama yang cukup disegani di masa itu. Lingkungan keluarga inilah yang pada akhirnya mengantarkan Syekh H. Amin pada pembentukan karakter religius.
Ulama pedalaman Luhak Limo Puluah berada tepatnya, di Nagari Taeh Bukik, Kec. Payakumbuh, Kab. Lima Puluh Kota, Syekh H. Amin terkenal dengan berbagai macam karamah yang hingga kini cerita kekaramahan tersebut masih terdengar dari mulut ke mulut.
Di waktu kecil, Syekh H. Amin mulai belajar Al-Qur’an dan dasar-dasar ilmu agama di surau-surau yang ada. Meskipun mempunyai kecendrungan layaknya anak-anak seusianya, namun Syekh H. Amin memiliki tabiat yang membedakannya dengan teman-temannya. Menurut riwayatnya, di waktu kecil itu telah ada tanda-tanda karamagpada diri Syekh H. Amin kecil.
Setelah waktu berjalan, tampak kecenderungan Syekh H. Amin untuk mempelajari Tarekat dan mendalaminya. Hal ini sesuai dengan karakter intelektual keluarganya, sufi pengamal Tarekat Naqsyabandiyah.
Dalam ilmu Tarekat beliau juga turut mewarisi dari ayahnya yakni Angku Mudo Rasyidin. Selain itu beliau juga mengambil kaji kepada Imam Hamid, Taeh Bukik, serta ahli-ahli sufi yang ada di kampung halamannya.
Di samping itu, beliau mengembangkan sayap keilmuan beliau dengan mengajarkan Tarekat Samaniyah dan Tarekat Naqsyabandiyah, Syekh H.Amin juga memiliki hubungan khusus dengan garis keilmuan Balubuih (Syekh Mudo Abdul Qadim), terbukti dengan hubungan baik beliau dengan Syekh H.Abdul Malik bin Syekh Mudo Abdul Qadim, jikalau diluar sana Syekh H.Abdul Malik terkenal dengan sangar dan tegas, namun kesangaran beliau itu lekas sirna apabila jika bertemu dengan Syekh H. Amin, dan memanggil Syekh H.Amin dengan panggilan “Mamak”.
Syekh H. Amin adalah salah satu sosok yang sangat Tawadhu’ dimasanya, terbukti disaat lisan-lisan orang menceritakan beliau dengan cerita kekaromahan beliau, itu semua tidak menjadikan beliau pribadi yang sombong dan angkuh, malahan itu menjadi batu pijakan beliau untuk bertambah hobi beliau dalam “Manukuak Kaji ” di usia beliau yang tak muda lagi beliau masih rajin untuk mengaji Kitab Al-Hikam dan beberapa kitab lainnya kepada Syekh Mukhtar Angku Lakuang yang merupakan salah seorang dari sesepuh PERTI
Selain belajar agama dengan seluk beluknya, khususnya Tasawuf menurut jalur Tarekat Naqsyabandiyah dan Tarekat Sammaniyah, Syekh H. Amin juga menekuni Silat Tradisional Minangkabau. Filosofi silat “Lagian silek mancari kawan, batin silek mancari Tuhan” menambah keteguhan hati, sebab sejalan dengan prinsip-prinsip ilmu Tarekat yang dikuasainya. Sikat ternyata telah menjadi hobinya sejak kecil. Mengenai hal yang satu ini banyak kisah-kisah “khariq lil-‘adat” (di luar nalar logika) yang terjadi pada diri beliau.
Menurut riwatar dari orang tua-tua yang mendapati hidup beliau, Syekh H. Amin dikenal mempunyai kepiawaian dalam ilmu Tasawuf, namun kepiawaiannya itu diperoleh dengan cara tak lazim. Ibaratkan hujan yang titik dari langit, ilmu beliau berupa karunia Allah yang dipertaruhkan dalam dadanya. Inilah yang dikenal dalam Tasawuf dengan “Ilmu Ladunni”, ilmu yang langsung dari sisi Allah tanpa melalui proses belajar, tapi titik seumpama hujan yang turun dari langit.
Buya Syamsu Anwar Mangkuto Malin murid dari Syekh H. Amin menjelaskan bahwa pengajian diberikan oleh Syekh H.Amin di tengah malam. Orang-orang yang akan mengaji terlebih dahulu disuruh tidur agar malam dapat terbangun. Sebenarnya, disuruh tidur merupakan ujian bagi murid-murid, sebab keadaan kampung yang dingin membuat orang tertidur nyenyak, artinya hanya orang-orang yang bersungguh-bersungguh belajar yang melawan kantuk dan terbangun di tengah malam, dalam bahasa surau “Urang nan barasoki iolah Urang yang jago” (orang yang mendapat rezeki -ilmu pengetahuan- ialah orang yang bangun malam untuk belajar). Sebelum mengajar, Syekh H. Amin menghangatkan badan di depan lampu Danar. Setelah agak hangat barulah mengaji di mulai. Pesan Syekh H. Amin selama mengaji ialah: “Apo nan didonga diingek elok-elok, sebab diulang ndak bisa” (Uraian yang didengar harus diingat dan dipahami baik-baik, sebab tidak bisa diulang kembali).
Memang benar, apa yang beliau ucapkan selama diulang untuk kedua menerangkan kaji ibaratkan datang tiba-tiba tanpa dipersiapkan; uraiannya disertai dengan ayat-ayat yang semuanya tampak sangat fasih dalam hafalan, namun ketika ditanyai lagi setelah usai mengaji, Syekh H. Amin tidak bisa menjelaskan seperti ia uraikan sebelumnya. Inilah salah satu kesaksian bahwa ilmu yang diajarkan oleh beliau memang titik dari langit. Pelajaran yang beliau berikan mencakup ilmu tauhid, yaitu penjabaran sifat dua puluh, yang dirangkai dengan pemahaman tasawuf. Pengajian ini berlangsung di keheningan malam, tak jarang berhenti ketika subuh datang.
Di suraunya, di Taeh Bukik, Syekh H. Amin mengajar agama, terutama Tarekat Naqsyabandiyah dan Tarekat Sammaniyah. Dari sejumlah murid-muridnya yang mengikuti suluk dalam Tarekat Naqsyabandiyah, dan Tarekat Sammaniyah, terdapat sembilan murid yang diberi ijazah, sebagai tanda telah berhasil dan berhak mengajar tarekat. Sembilan murid itu ialah yang dikenal dengan sebutan Khalifah Nan 9, berikut nama-namanya :
1. Datuak Hasan gelar Engku Kubang
2. Sa’idun gelar Engku Tanjuang
3. Datuak Patiah
4. Engku Mudo Juarni
5. Imam Darusan (no 1-5 dari Taeh Bukik)
6. Engku Mudo Kahar (Koto Baru)
7. Engku Mudo Ajuz
8. Sutan Engkau Masojik
9. Buya Syamsu Anwar Mangkuto Malin
Setelah puluhan tahun lamanya berkhitmat di Surau Taeh Bukik, dalam usia yang sudah sepuh Syekh H. Amin jatuh sakit. Selang beberapa lama beliau menghembuskan napas terakhir, tepat pada malam Ahad, 12/13 November 1978, bertepatan dengan bulan Haji 1398 H. Beliau kemudian dimakamkan di sebelah kanan Mihrab Surau-nya di Taeh Bukit. Qaddasallahu sirrahu wa-nawwara dharihahu (Semoga Allah mensucikan sir-nya, dan melapangkan pusaranya), Aamiin.