Selamat Datang di Kampung Tenun Balaipanjang.
SudutPayakumbuh.com – Kalimat tersebut berdiri di pinggir jalan di Kelurahan Balaipanjang, Kecamatan Payakumbuh Selatan sebagai tanda memasuki daerah yang pada 2007 lalu disebut sebagai daerah penghasil tenun di Kota Payakumbuh. Terletak berdekatan dengan Balaikota Payakumbuh, membuat Balaipanjang sangat mudah diakses dan dikunjungi sebagai salah satu daerah yang saat ini tengah menjadi sorotan bagi perancang mode di Sumbar.
Salah satunya yaitu desainer ternama De’ Irma yang pada Oktober lalu memakai hasil Tenun dan Songket Balaipanjang di salah satu iven fashion terbaik di Indonesia yaitu Jakarta Fashion Week (JFW) 2015. Dampaknya, kain tenun dan songket Balaipanjang mulai dilirik oleh perancang mode atau desainer ternama baik itu di Indonesia maupun Internasional.
Di Sumbar, salah satu tenun dan songket yang terkenal yaitu Tenun Pandai Sikek dan Silungkang. Namun hadirnya Tenun Balaipanjang ini menurut Ketua Dekranasda Payakumbuh Henny Riza Falepi dapat memberikan pilihan baru bagi perancang mode di Indoensia khususnya Sumbar sebagai bahan dasar yang akan dijadikan menjadi sebuah baju atau busana yang menarik.
Saat kunjungan Presiden RI keenam Susilo Bambang Yudhoyono bersama Ibu Negara Ani Yudhoyono ke Kota Payakumbuh, tenun dan songket Balaipanjang juga menjadi salah satu cinderamata yang diberikan kepada orang nomor satu di Indonesia pada waktu itu. Sehingga dengan berjalannya waktu hingga saat ini, tenun dan songket Balaipanjang mulai diminati dan disukai baik itu masyarakat maupun perancang mode.
Senin, 23 November lalu, SudutPayakumbuh.com berkesempatan mengunjungi Kampung Tenun Balaipanjang dan bertemu dengan penenun yang pertama kali memulai membuat kain tenun dan songket di kampung tersebut. Dialah Effendi, pria kelahiran Garut 12 Oktober yang telah merantau ke Payakumbuh sejak 1988 silam.
Bertempat di Kantor Lurah Balaipanjang Kecamatan Payakumbuh Selatan Kota Payakumbuh, Effendi mengatakan dirinya mulai menenun sejak tahun 1997, artinya telah berjalan selama 18 tahun. Ia mengungkapkan kepandaiannya dalam menenun ini didapat setelah belajar bersama saudaranya yang kini juga menggeluti usaha tenun dan songket ini.
“Awalnya di sini belum dinamakan Kampung Tenun dan di sini juga ada beberapa kelompok tenun dan songket yang telah aktif menghasilkan kain tenun maupun songket. Tapi pada tahun 2007 tiga kelompok besar yaitu Effen Club, Tenun Mimi dan Tenun Cahaya disatukan menjadi satu kelompok besar yang merupakan cikal bakal terbentuknya kampung tenun ini,” ujar Effendi didampingi Mimi yang saat itu tengah berkumpul dengan puluhan penenun di Balaipanjang.
Effendi menjelaskan di Kampung Tenun ini ada sekitar 25 penenun yang dalam kesehariannya masih memproduksi tenun dan songket untuk dipasarkan ke beberapa daerah di Sumbar. Terutama ke Pandai Sikek dan Silungkang yang masih menjadi salah satu daerah potensi untuk menjual dan memasarkan tenun dan songket di Sumbar.
“Kita masih berada pada tahapan meniru atau dengan kata lain jenis tenun dan songket kita gunakan masih mengembangkan jenis tenun Pandai Sikek. Kita juga belum ada memiliki jenis tenunan dan songket khas Balaipanjang,” kata pemilik Effen Club yang berada di RT I-II Kelurahan Balaipanjang, Kecamatan Payakumbuh Selatan ini.
Melihat situasi tersebut, Effendi berharap adanya perhatian dari budayawan dan sejarahwan yang berkolaborasi dengan perancang mode lokal asal Payakumbuh untuk menciptakan motif khas Balaipanjang yang tidak lepas dari nilai filosofis daerah Kota Payakumbuh ini. Sehingga ke depannya tenun dan songket Balaipanjang ini memiliki ciri khas sendiri tanpa harus tetap mengembangkan jenis tenun dan songket yang telah ada.
“Awalnya kita baru memproduksi songket saja yaitu kain selendang dan kodek atau bawahannya. Tapi saat ini selain songket kita juga telah banyak memproduksi bahan yang bisa dijadikan sebagai bahan dasar membuat baju. Untuk bahan dasarnya sendiri kita di Balaipanjang menggunakan benang katun dari Silungkang, Sawahlunto dan benang halus dari Bukittinggi sebagai bahan dasar dalam membuat tenun dan songketnya,” ujarnya.
Untuk pemasarannya, Effendi mengatakan saat ini masih banyak melayani pesanan di dalam Sumbar khususnya perancang mode lokal yang mulai tertarik untuk menggunakan tenun dan songket Balaipanjang pada setiap karya dan busana yang dihasilkannya. Sehungga sejak beberapa tahun lalu, tenun dan songket Balaipanjang ini telah pernah diikutkan ke dalam iven fashion seperti Payakumbuh Fashion Week (PFW) maupun Jakarta Fashion Week (JFW).
Setiap bulannya, Effendi dan Mimi mengatakan satu orang penenun dapat menghasilkan satu potong songket dan 3-4 potong dasar kain. Dimana satu potong kain memiliki panjang 2,8 meter yang pengerjaannya dapat dilakukan selama empat hari. Sedangkan untuk harga, diperkirakan berkisar Rp 1juta hingga Rp 3,5juta untuk songket dan bahan dasar perpotongnya seharga Rp 350.000. (*)
Kurangnya Minat Generasi Muda
Diliriknya pasaran kain tenun dan songket di Balaipanjang membuat dunia mode di Sumbar mulai mengarah ke salah satu kawasan yang terletak di bawah Bukik Sibaluik, kantor Balaikota Payakumbuh yang berada di Kelurahan Balaipanjang Kecamatan Payakumbuh Selatan Kota Payakumbuh. Di sebuah rumah, terlihat beberapa orang paruh baya yang tengah asyik mengolah benang dengan menggunakan sebuah alat yang dinamakan Gedogan dan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM).
Gedogan merupakan alat tenun yang digunakan untuk menghasilkan songket dan ATBM ini sendiri akan menghasilkan bahan dasar kain polos sebagai bahan dasar membuat busana atau baju. Satu persatu alat tersebut dimainkan dengan benang-benang halus.
Penuh kelihaian, turak, alat yang berfungsi untuk memasukkan benang dan karok, alat untuk menjalin atau menganyam benang ini dimainkan oleh Mimi Hirawati, 39. Ibu empat orang anak ini terlihat begitu mahir dalam memainkan Gedogan maupun ATBM yang berada di ruangan tempat dirinya bersama anggotanya memproduksi kain tenun dan songket.
Namun, proses pengerjaan tenun yang membutuhkan kesabaran ekstra dan ketelitian ini tidak banyak menarik perhatian generasi muda untuk menekuni kegiatan menenun ini. Akibatnya, puluhan penenun yang berada di Kampung Tenun Balaipanjang ini didominasi oleh kalangan orang tua di atas 30 tahun.
“Seperti yang dilihat saat ini, tidak ada anak muda yang mengerjakan pekerjaan ini. Pada umumnya mereka lebih memilih mencari lapangan kerja lain yang lebih mudah dan tidak menyita banyak waktu. Tapi tetap menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhannya,” kata Mimi, Selasa (24/11) lalu.
Menurutnya, generasi muda yang ada di sekitar rumahnya lebih memilih untuk bekerja di luar dan tidak menekuni usaha tenun yang menjadi rutinitas orang dulunya. Ia mengatakan, zaman dahulu atau tahun dimana dirinya mulai menggeluti usaha tenun tersebut, anak muda tidak banyak yang keluar dan kondisi pendidikan yang cukup sulit pada waktu itu menjadi salah satu alasan kegiatan tenun ini dilakukan oleh anak muda zaman dulunya.
“Sekarang, pendidikan mudah didapatkan dan akses untuk pekerjaan yang tidak menyita waktu lama dan butuh ketelitian dan kesabaran ekstra ini banyak di luar. Generasi muda lebih memilih bekerja di pasar dengan menjaga toko daripada harus mempelajari tenun dan songket ini,” kata Mimi.
Namun untuk mengantisipasi punahnya usaha tenunan dan songket tersebut, ia bersama penenun lainnya di Balaipanjang lebih menularkan kepandaiannya kepada anak-anak dan saudara-saudaranya. Hal ini diyakini dapat membuat adanya regenerasi dan kegiatan menenun ini menjadi tidak punah dan hilang begitu saja.
“Kadang saya juga meminta bantuan kepada anak, adik atau saudara lainnya dalam membuat salah satu jenis tenunan. Lama kelamaan ini tentunya dapat membuat mereka menjadi mengerti dan tahu bagaimana menggunakan alat dan membuat tenunan hingga menjadi sebuah songket. Kalau untuk diajarkan ke orang lain sepertinya akan susah,” kata Mimi Hirawati yang lahir di Payakumbuh, 10 April 1975 ini. (**)