Categories Warta

Rella Elci Mardiah, Pegiat Budaya Asal Kota Randang

Rella Elci Mardiah sudah tiga tahun menggeluti profesi sebagai seorang pegiat budaya, memulai penugasan pertamanya di 2021 hingga memutuskan untuk memperpanjang kontraknya di tahun 2023, menjadikan Elci sapaan sehari-harinya, selama satu tahun ke depan untuk terus berkontribusi memenuhi tugasnya sebagai pegiat budaya perempuan satu-satunya di Kota Payakumbuh.

Tentunya banyak cerita menarik dari pengalaman yang sudah dilaluinya serta informasi seputar pegiat budaya, apalagi Rella Elci Mardiah bertugas di Kota Payakumbuh, domisili tempat tinggalnya sendiri. Oleh karena itu, pada Jumat 12 Mei 2023 di Gerobak Kopi Simpang Benteng, sudutpayakumbuh.com berkesempatan mewawancarainya.

Berikut petikan wawancara dengan Rella Elci Mardiah:
  • Apa itu pegiat budaya? Dan apa saja tugas-tugasnya?

Bagi saya pegiat budaya merupakan program dari Kemendikbud yang tujuannya itu untuk mendukung dan mendampingi komunitas atau masyarakat untuk memajukan kebudayaan. Jadi bukan kami yang bergerak di kebudayaan tapi kami mendukung mereka, makanya disebut pegiat. Kalau yang melakukan atau aktif di kebudayaan itu kan pegiat sebenarnya, jadi kami mendorongnya untuk tetap bisa aktif.

Selain itu kami juga mendata 10 Objek Kemajuan Kebudayaan (OPK) sesuai amanat dari Undang-Undang No 5 Tahun 2017, itu harus mendata 10 OPK dan cagar budaya. Nah Objek Kemajuan Kebudayaan adalah sasaran utama yang harus terkumpul di nusantara untuk di data kembali dan nantinya ketika terkumpul di pusat itu nantinya yang akan diupayakan untuk di lestarikan.

Kemudian selain mendampingi serta melakukan pendataan masyarakat, pegiat budaya ini juga berkoordinasi dengan Dinas yang membidangi kebudayaan di masing-masing kota atau kabupaten. Untuk bergerak membantu, mendampingi kegiatan pelestarian budaya.

Pertama itu ada namanya Dokumen Pokok Pokok Kebudayaan Daerah (PPKD), nanti di PPKD itu yang memuat kondisi asli dari kebudayaan di suatu kota atau kabupaten. Seperti apa aja pokok masalahnya, apa solusi awal  yang harus dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat, itu harus termuat di dalamnya dan PPKD itu harus diupdate, untuk PPKD yang terakhir itu kan tahun 2018, itu harus diupdate lagi. Tahun 2023 pun harusnya sudah ada update lagi dari PPKD. Nah itu salah satu tugas utama dari pegiat budaya.

  • Sudah berapa lama bergabung jadi pegiat budaya di Payakumbuh? Awal mulanya seperti apa?

Saya itu bergabung atau mulai bertugas sejak 2021 sampai sekarang dan itu selalu di update kontraknya setahun. Jadi sekarang saya sudah tiga tahun jadi pegiat budaya di Payakumbuh . Karena waktu itu kan COVID 19, kami itu seleksinya online kan, jadi untuk terkait kerja waktu itu arahnya belum tahu mau ke mana.  Udah lulus terus pas pembekalan baru tahu dalam pikiran waktu itu ngantor di tempatkan di Bidang Kebudayaan  di Dinas ternyata kita itu lebih banyak bertugas ke lapangan. (tertawa)

  • Sudah berapa banyak cagar budaya yang ditelusuri sampai sekarang?

Tahun 2020 ditetapkan 34 Cagar Budaya, 33 Cagar Budaya Benda Bangunan dan Struktur  Cagar Budaya dan tambah 1 kawasan jadinya 34. Terus tahun 2021 ditetapkan 8 lagi Cagar Budaya jadi 42 Cagar Budaya.

itu yang sudah diusulkan kepada Dinas Kabupaten, kan cagar budaya itu pertama di daftarkan  kemudian di identifikasi oleh Tim Ahli Cagar Budaya. Nanti berangkat dari rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya, pemerintah wajib mengesahkan sebagai cagar budaya.

Selain itu potensi-potensi Cagar Budaya Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB) jadi belum melalui proses penelitian, identifikasi oleh Tim Ahli CB, belum penetapan oleh Bupati atau Walikota.

Sekarang ini kegiatan mengumpulkan mengidentifiksi ODCB sekitar seratusan udah karena benda misalnya, kayak piring, kalau kita ke rumah gadang nah itungannya perpieces kayak satu piring, satu sendok, satu teko.

  • Bagaimana anda melihat kebudayaan di Payakumbuh? Menurut anda Apa yang bisa jadi potensi besar untuk pekembangan kota ini?

Dari segi potensi, Payakumbuh tidak kalah dari kota-kota lainnya di Indonesia. Entah itu dari segi kuliner, kesenian, atau pelestarian adat istiadatnya. Tapi ya mungkin perlu perhatian penuh  kan, kebudayaan itu memang tumbuh juga dari masyarakatnya tapi tidak menutup kemungkinan juga perlu kontribusi dari pemerintah serta dukungan-dukungan lainnya.

Tapi kalau untuk misalnya di kuliner  itu udah cukup maju kan,  misalnya kayak UMKM  yang makanan tradisional seperti galamai, batiah, bareh randang, itu kan makanan tradisonal. Itu punya makna, nilai, filosofinya bagi masyarakat Minangkabau di Payakumbuh. Sekarang UMKM Payakumbuh aja  itu udah menjamur kan, apalagi randang.

  • Apa kesulitan dan tantangan anda selama bertugas menjadi pegiat budaya di Payakumbuh?

Kesulitan dan tantangan ya, kan saya bukan dari basic sejarah atau langsung dari orang kebudayaan, saya orang ekonomi, itu tantangan besar pertama saya. Selain itu saya sendiri di lapangan, Itu luar biasa sih, sempat menyerah sih bayangin sendiri  ke lapangan, kita enggak  tahu siapa-siapa kemudian kalau orang lapangan kan beda dengan kantoran, kita harus belajar sikologi  masyarakat  juga. Awalnya karena harus pergi sendiri  harus belajar lagi bagaimana soal kebudayaan, apalagi Payakumbuh. Tapi alhamdulillahnya di awal-awal tektotan dengan Disparpora itu enak, jadi bapak dan ibuk di Disparpora itu diarahinnya saya.

Enggak cuma itu, saat menggali informasi misalnya, beberapa hal ada ketakutan di masyarakat itu bahwa karena bisa jadi di Minangkabau sejarah itu tidak ada catatannya. itu orang Minangkabau maksudnya, kita bukan masyarakat atau etnis yang hobi mencatat tapi kita bercerita atau bertutur. Nah itu kan salah satu tugas pegiat budaya untuk mengumpulkan informasi dan dibantu untuk mencatatkan  karena selama ini kan turun temurun dengan bertutur.

Tapi sebenarnya masyarakat itu punya beberapa catatan  biasa disebut manuskrip dari daun kayu kulit kayu, dari daun. Tapi  masyarakat sulit memberikan kepada orang lain, hanya sekadar memperlihatkan karena bagi mereka itu adalah harta pusaka. Padahal sebenarnya kalau kita memahami manuskrip itu bukan harta pusaka tapi sumber kan bahkan keturunannya itu sudah tidak bisa lagi membaca arab melayu atau bahasa-bahasa lama.  Jadi mereka cuma liatin karena mungkin takut akan diambil dan segala macam. Apalagi kita hanya pergi sendiri tidak dalam bentuk tim  itu nambah lagi kesulitannya.

  • Lalu jika seperti itu biasanya apa solusinya?

Tapi sekarang solusinya Dinas sudah lakukan sosialisasi 10 OPK dan cagar budaya termasuk kita di sana, Dinas membantu kita pakai Tim Ahli atau Tenaga Ahli, misalnya kita undang dari PPK Balai Pelestarian Kebudayaaan di Batusangkar  untuk membantu menjelaskan bahwa itu tidak akan diambil, semua hak kepemilikan tetap berada di masyarakat tapi kita bantu misalnya manuskrip itu kan terancam rusak ya, nanti kita batu digitalisasi  atau foto-foto.

Tapi ketika misalnya ada masyarakat yang sudah mulai sadar, kami punya nih, bersedia nanti kita datangkan tim ahli untuk digitalisasi tapi kalau sekarang masyarakat sendiri aja belum mau, enggak bisa kan kita datangkan tim ahli, itu butuh anggaran. Jadi sekarang perlahan-lahan  dibantu, dimulai menyebarluaskan informasi ke masyarakat bahwa pentingnya bekerja sama untuk melestarikan  manuskrip tadi atau OPK atau cagar budaya tadi. Semuanya memang butuh waktu. (tertawa sambil meminum es matchanya)

  • Selama di lapangan apa aja sih keseruan jadi pegiat budaya itu?

Keseruannya kalau kita ke lapangan ya bertemu dengan orang baru, jadi kita harus belajar bagaimana berkomunikasi dengan baik. Terkadang tidak selalu berjalan lancar kan tapi serunya itu narasumber kita itu bisa saja petani, pekerja UMKM, nanti tiba-tiba kita dikasih hadiah kan, kayak dikasih buah pisang, jambu, tomat, pepaya dari narasumbernya. Itu unik dan lucu sih, ada momentnya jadi bonus juga dikasih buah-buahan dan sayuran. (tertawa).

Enggak cuma itu sih, serunya juga ketemu sama senior-senior pegiat budaya yang udah 10 tahun, 15 tahun jadi pegiat budaya. Pengalamannya sudah luar biasa. Jadi kita sharing-sharing palingan. Bahkan ada senior yang udah di kelas nasional, yang udah diketahui Kementerian Provinsi, ketika mereka meminta jadi curator biasanya kita pegiat baru ini dilibatkan. Intinya sih jadi pegiat budaya itu harus lebih banyak belajar lagi banyak bertanya ke senior bagaimana pegiat budaya itu benar-benar bisa lebih baik lagi mendampingi masyarakat untuk memajukan dan melestarikan cagar budaya atau pun 10 OPK lainya yang menjadi warisan budaya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *